“Tak seorang pun sempurna dan merasa. Naik turun kerap dialami tiap nyawa. Tak mungkin selalu memendam tuk menaikkan dataran, berharap kesuburan mengikuti. Kali waktu ia melepas yang tertanam dalam diam, di kesunyian tanpa teman. Namun ramai mereka tak paham, hingga ia hilang dalam kemalangan” adalah kalimat realistis dengan kehidupan si pedagang kaki lima yang tinggal di Desa Purnama, Jamal panggilannya.
Hidup berstatus sebagai seorang suami dan ayah bagi 3 anaknya dengan profesi yang sangat jauh dari “kecukupan” untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Istrinya yang hanya sebatas Ibu Rumah Tangga juga 2 anak pertamanya yang sudah mulai naik jenjang menuju SD semakin memberatkan tanggungan dan amanah yang ia pikul sendiri. Tak berhenti di situ, rumah lusuh dan koyak pun membuat kehidupannya semakin hancur berantakan. Kendati demikian ia menjalaninya dengan penuh semangat bekerja, sabar, tabah, dan ikhlas menerima ujian yang terasa tidak adil.
“Bapak berangkat dulu ya, bu. Doain biar laris. Assalamualaikum”, perpisahan hangat Jamal kepada sang istri sehabis menyantap 2 pisang rebus dan secangkir kopi hangat.
“Iya, pak. Hati-hati di jalan, ya. Waalaikumsalam”, balas Ranita yang setia menunggu suaminya di pintu depan sebelum ia berangkat.
Topi rimba, sandal jepit, celana biru pendek, dan kaos hijau oblong adalah satu set pakaiannya yang senantiasa menutupinya dari panas dan hujan tiap berdagang. Bermodalkan semangat mencari nafkah dan diiringi doa Jamal rela menuju area perkotaan dengan memikul barang dagangan, melewati terjal dan turun naiknya jalan, mencari pembeli supaya pulang dengan membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan meloloskan diri dari petugas Satpol PP dan bersembunyi adalah santapan biasa baginya. Ya, mau bagaimana lagi. Demi anak dan istri ia siap sigap menghadapi beribu hal walau sesulit apa pun. Sering kali merasa haus dan kepanasan, namun tetap menahan untuk tidak membeli dagangannya sendiri. Terlebih saat langit mengguyur, ia harus berteduh di mana pun sebisanya.
Sadar bahwa tidak boleh menyerah dan berhenti karena satu-satunya harapan hanya ia seorang, pandangannya selalu menatap langit dengan hati kecilnya berharap,
“Ya Tuhanku, mudahkanlah rezeki kepada keluargaku. Sungguh aku tak tega melihat mereka sengsara di bawah penderitaan ini. Aku akan lebih rajin lagi beribadah jika kau mengabulkannya. Amin”.
Senja pun kian menggelap bersama ronanya, isyarat bagi Jamal harus bergegas kembali menuju istana mungilnya dan menyerahkan buah tangan kerja keras kepada keluarga. Di sela-sela perpulangan tak luput ia sisihkan sebagian hasil, lalu disedekahkan kepada anak-anak jalanan dan pengemis. Itulah rutinitas terpuji yang dapat dipertahankan hingga saat ini. Yakin dengan nikmat Tuhan dan anugerah-Nya yang melimpah akan lebih lancar kepada pengamal kebaikan.
Sekian jam dan jalanan berselimut udara malam dilalui tibalah ia di istana kumuh tak berbentuk. Lalu,
“Assalamulaikum, bapak pulang”, salam penat Jamal bertudung senyuman kepada seisi rumah.
“Waalaikumsalam. Eh, bapak. Alhamdulillah, sudah pulang. Gimana dagangnya? Pasti capek. Ibu buatin jahe dulu, ya biar hangat”, jawab Ranita yang tengah asyik berkisah dengan buah hati.
“Yay, bapak pulang”, sahutan menyusul dari 3 anaknya dengan riang gembira menanti hadirnya.
“Pak, dagangannya laku gak? Berapa banyak yang kejual?”, tanya Ryo, anak pertama.
“Wes, laku lah. Bapak kan ahli dagang. Lumayan banyak tadi pembelinya. Jadi, habis banyak deh.”, jawabnya.
“Terus, pak tadi kan ada banyak petugas Satpol PP yang jaga, aku lihat dari TV di warkop mereka pada nangkep-nangkepin pedagang dan penjual, ya. Kok gitu sih, pak? Mereka kan cuma mau mencari penghasilan dengan cara yang halal. Kok malah ditangkep?”, sahut Rusli, anak keduanya yang tak tega melihat kondisi bapaknya yang setiap hari harus berhadapan dengan petugas.
“Ya, gak papa nak. Mereka kan juga menjalani tugas yang diberikan demi menjaga kenyamanan masyarakat sekitar. Lagi pula kami selaku pedagang kaki lima sudah dilarang berkali-kali supaya tidak berkeliaran di sana lagi. Tapi, kami malah ngeyel. Ya sudah, ditertibkan jadinya. Yang terpenting bapak bisa lolos dari mereka dan akhirnya balik dengan selamat”, lontarnya kepada Rusli demi menenangkan amarah di lubuk hatinya.
“Kok bisa, sih?”, tanya heran mereka.
“Bisa dong. Bapakmu ini kan Batman”, kata Jamal menyengih di hadapan mereka.
“Wihh, bapak jadi Batman”, kalimat kagum terhadapnya.
“Tapi, aneh. Masa Batman jadi pedagang kaki lima, sih”, Ryo terheran merespon.
“Hahahaha. Ini kan beda. Punya kelainan gen”, tawa Jamal mendengar hal itu.
“Jejajeja”, ocehan Kirana, anak bungsunya.
“Ehm, ehm, ehm. Lagi pada becanda, ya. Seru banget. Nih, pak jahenya. Diminum dulu biar vit”, ucap Ranita yang berjalan dari dapur dengan membawa secangkir minum kepada Jamal.
“Alhamdulillah, disediain jahe. Sruppp... (suara seruputan). Subhanallah, enak pol. Makasih ya”, sanjungan Jamal kepada istri.
“Iya”, sahut Ranita sambil mengangguk tersenyum
“Oh iya, bapak lupa. Jeng jeng jeng. Ini dia nasi goreng dan mie rebus. Kalian makan, ya”, sambung Jamal kepada istri dan anak dengan mengeluarkan santapan malam dari tas selempangnya.
“Asyik, nasi goreng ama mi rebus. Udah lama nih gak makan ginian”, sorak mereka.
“Lho, bapak ga ikut makan?”, tanya Ranita merasa tidak enak.
“Bapak udah makan tadi sebelum pulang. Kalian saja makan, ya”, sahutnya menangkis perasaan tidak mengenakan istri.
Selepas selesai mereka bergegas persiapan tidur sembari menunggu hari esok yang mungkin jauh lebih baik lagi. Semuanya terlelap dalam sunyi malam di rumah tak karuan. Semuanya kecuali Jamal. Lagi-lagi ia meratapi nasib malangnya bersama keluarga yang kian hari memburuk dengan kebutuhan yang menggumpal. Usut punya usut hampir seluruh jawabannya tadi dibumbui kedustaan. Dagangannya tak laku dan hanya mengisi perut dengan sebatas sarapan. Hari-harinya ia jalani dengan penderitaan yang semakin meronta-ronta. Namun, ia tetap tersenyum lebar di tatapan kosong orang lain, bahkan keluarganya sendiri. Seolah-olah hanya dirinya yang boleh merasakan demi menutupi kesedihan dan membuat tenang serta bahagia orang lain. Berulang kali bersabar dan ikhlas menerima, berulang kali pula ingin menyerah. Hingga,
“Tuhan! Kenapa aku menjadi seperti ini. Salah apa aku padamu? Sedekah sudah, rajin ibadah, ikhlas menerima, dan mati-matian menyembunyikan kesedihan. Mengapa justru tidak ada kenaikan dalam hidupku? Turun semakin merosot tiada ujung. Kau tak adil. Ini semua tak adil”, keluh Jamal dengan merintih kesakitan dalam hati dan bercerai-berai air mata yang sudah tak kuasa menahan.
Tiba-tiba “putus asa” terlintas lewat benak,
“Apa aku ..... aja ya biar cepet kaya dan selesai masalahnya. Aku coba dulu, ah. Siapa tahu berhasil”.
Mentari pun menunjukkan dirinya lambat-laun dan disapa dengan nyanyian ramah alam. Awal hari dilewati Jamal selayaknya berlalu. Anehnya bukan menuju perkotaan, namun menemui temannya, Trista si kaya raya di Desa Purnama guna meminta bantuan agar ia menjadi kaya raya sepertinya dalam waktu sekejap demi tamatnya kesengsaraan yang dirasakan keluarga. Perlu diketahui bersama Trista adalah pemilik sawah dengan tanah berhektar-hektar, kebun teh yang senantiasa tumbuh, asetnya beragam dan tersebar di sana-sini. Sehingga gangguan mental tak mungkin di cicipi olehnya sebab kamakmuran dan kesejahteraan yang menaungi. Lantas Jamal pun datang ke rumah Trista dengan pakaian seadanya.
“Permisi, pak. Pak Trista, permisi”, salam Jamal sambil mengetuk pintu, berharap Trista ada di rumah.
“Ya, sebentar. Kreekk…. (suara membuka pintu). Eh, ada Pak Jamal. Ada apa, pak datang ke mari?”, sambut hangat Trista kepada Jamal.
“Begini, pak. Saya mau minta bantuan ke Pak Trista supaya keluarga saya bisa tercukupi kebutuhan sehari-hari”, pinta Jamal.
“Kira-kira apa yang bisa saya bantu?”, Trista mengajukan pertanyaan.
“Apa aja deh, pak. Sekiranya saya bisa dapat uang dengan cepat. Bekerja sama bapak mungkin?”, ujarnya.
“Kalau untuk pekerja, saya sedang tidak butuh. Maaf, pak”, permintaan maaf Trista sebab tidak ada pekerjaan yang kosong untuk diisi.
Akhirnya jurus andalan yang terlintas semalam keluar,
“Yaudah, pak. Jikalau bapak berkenan, apakah saya boleh meminjam uang dulu? Secepatnya saya akan ganti. Gak lama kok, pak. Saya mohon”, ucapan merendah diri sontak terlepas dari lisannya.
Sebenarnya bukan ini yang ia harapkan dan tuju. Semangat dan kekuatannya masih sanggup untuk melakukan pekerjaan berat sekali pun dan mendorongnya. Lagi-lagi kemalangan selalu membuntutinya. Karena sudah tidak ada selainnya ia rela mengambil jalan pintas tanpa berpikir panjang dan positif.
“Memangnya Pak Jamal butuh nominal berapa? Dan apakah bapak siap menerima konsekuensinya?”, kata Trista yang tak percaya Jamal si pedagang rajin akhirnya luluh.
“Saya butuh 15 juta, pak untuk perbaikan rumah, usaha kecil-kecilan, dan ngebahagiain anak istri. Itu saja sih, pak tak lebih. Insyaallah saya juga siap menanggung konsekuensinya”, jawabnya dengan nada rendah mengharap dipenuhi.
“Oke, saya akan beri. Soal hutang-piutang itu bukan masalah bagi saya. Tapi, perlu diingat bunganya adalah 3% dari total pinjaman”, katanya tak menghiraukan kondisi yang menimpa si pedagang kaki lima itu.
Gembira tak terbendung, tangis haru berterima kasih kepada Tuhan dan Pak Trista yang telah memberinya kesempatan untuk mencoba hidup lebih baik.
Secepatnya ia bergegas ke perkotaan begitu memegang segepok uang, bukan sebagai penjual melainkan pembeli. Singkat saja, ia lansung memilih dan membayar barang-barang keperluan rumah dan dagangan untuk usaha barunya. Sontak ramai pandangan heran dari para pedagang toko, terlebih teman berdagangnya sendiri yang biasa membersamainya berkeliling mencari konsumen. Tak lupa ia juga membelikan makanan dan mainan untuk istri dan anak yang selama ini selalu memberinya dukungan penuh. Namun, seperti biasa Jamal meluangkan waktu untuk menemui orang-orang jalanan dan memberinya sedekah sebagai tanda syukur walau sebatas uang pinjaman saja.
“Assalamualaikum, bapak pulang”, suara pertamanya begitu sampai di rumah yang reyoknya dengan membawa berbagai banyak belanjaan yang telah dibeli di toko-toko kota.
“Waalaikums… Subhanallah, apa ini, pak? Buanyak buanget. Dapet uang dari mana saja bisa beli barang-barang ini? Ini kan mahal, pak”, seru Ranita, sang istri yang kagum dan terkejut melihat suaminya membopong sejumlah bawaan.
“Dah gak usah dipikirin. Tadi tuh ada bule yang bayarin dagangan bapak. Dia ngasih dollar bejibun. Yaudah, tanpa pikir jauh bapak beli aja ini barang-barang. Bagus kan ide bapak”, dusta Jamal kepada istri supaya ia tidak khawatir uang yang diperoleh sebenarnya dari hasil menghutang kepada Trista.
“Wahhh… Bapak bawa mainan. Ada robot-robotan, boneka, ama pedang warna-warni. Ih, seru banget. Makasih ya, pak udah beliin kita ginian”, rasa senang berwujud kalimat dari Ryo.
“Gimana, kalian seneng, kan?”, tanyanya kepada anak-anak.
“Seneng lah, pak. Kita akhirnya punya mainan baru. Apalagi Kirana dapet boneka yang imut dan lucu banget”, Rusli menjawab.
“Ayo, kita makan dulu. Nih, bapak bawain soto daging. Pokoknya jos ganjos deh”, sambung Jamal.
“Yeayy…”, sorak ceria anak-anak.
“Bapak serius ini beneran dapet dari bule tadi? Kamu gak ngerampok, kan?”, Ranita kembali memastikan sang suami baik-baik saja.
“Ya, gak lah. Gak mungkin aku begitu. Itu kan haram dan dilarang dalam agama. Udah Ibu gak usah cemas. Semua ini halal, kok”, respon Jamal meyakinkan Ranita agar pesimis.
“Oh, iya. Besok bapak ada niatan buat renovasi rumah ini. Jadi agak sedikit keganggu di sini. Juga besok ibu jualan makanan dan minuman, ya di gubuk depan rumah. Ala-ala kafe gitu”, Jamal lanjut memberitahunya.
“Emang masih kesisa uangnya?”, hatur Renita kepadanya.
“Ya, masih banyak lah’’, jawab santai Jamal.
Keesokan harinya, hidup Jamal mulai berubah drastis sesuai rencananya. Kini ia tidak lagi menjadi pedagang kaki lima yang hanya berkeliling menanti pembeli dan beralih menjadi supir Gojek dengan menyewa motor temannya. Rumahnya telah menjadi lebih layak disinggahi, istrinya juga turut berdagang membantunya sebagai penjual di kafe kecil-kecilan, serta anak-anaknya yang mengenyam pendidikan dengan tenteram tanpa tidak merasa risau. Kehidupannya berjalan lancar dari sisi mana pun layaknya orang sederhana yang tercukupi kebutuhan pokok dan penunjangnya. Syukur dan sanjung selalu dipanjatkan kepada Tuhan yang telah mengubah nasibnya dan mereka yang sudah mendukung dari awal sampai saat ini dengan simbolis khasnya, yaitu bersedekah. Senang, gembira, bahagia, dan puas dirasakan oleh keluarga Jamal sehari-harinya tanpa tersirat kegelisahan terhadap hutangnya.
Hari menjadi minggu dan ia mengelupas menjadi bulan, hingga masuk lah ke dalam tahun. Ia lalui dengan dusta di diri, enggan mengemukakan awal apa yang sebenarnya terjadi. Pikirnya semakin ke sini, semakin baik dengan tidak bercerita kepada seorang pun tentang tanggungannya selama ini yang menjadi dasar kestabilan keluarganya. Namun, nahas (entah ujian atau kutukan) selalu abadi menimpanya, tak kian berhenti dan makin bergejolak bagai api. Ternyata pekerjaan barunya tidak mendukung, lantaran tidak lihai berkendara. Sehingga banyak penumpang memilih untuk berhenti di tengah tujuan dengan cacian yang dilemparkan kepada Jamal. Di samping itu Ranita yang merasa gagal menjadi pedagang kafe sebab banyak anak-anak muda amoral yang tidak mau membayar pesanannya terlebih di malam hari. Hal itu sangatlah berdampak terhadap pengasilan keluarga ini yang kian menipis sementara pengeluaran tetap berjalan. Terpaksalah ia menggunakan uang simpanannya untuk menyicil pembayaran hutang demi keberlangsungan hidupnya bersama istri juga biaya pendidikan kedua anak mereka. Padahal tenggat pelunasan hutang hampir jatuh tempo, namun lagi dan lagi ia mengambil jalan pintas tanpa memikir akibatnya. Tak hanya disitu, kadangkala ia menambalnya dengan kembali berhutang kepada teman lainnya yang tentu tidak memerlukan bunga sebagai keuntungan pribadi. Dan kini semakin berat tanggung jawab yang dipikul.
“Pak, gimana dong nih? Dagangan ibu kian hari kian memburuk gara-gara banyak anak muda yang gak mau bayar. Kalo gak dikasih, ibu dipaksa”, curhat Ranita dengan nada sedih kepada suami.
“Ibu sabar, ya. Nanti pasti ada gantinya yang lebih besar dan indah. Kan, kalo baru jualan emang banyak kejadian yang bikin kesel. Tapi, jalani aja dulu. Insyaallah, pasti ada hikmahnya’’, Jamal mencoba menenangkan hati istrinya yang gundah.
“Bapak, kok selalu santai, sih? Kayak ga ada beban hidup aja. Padahal, kan pemasukan lagi menipis ditambah pengeluaran gak bisa berhenti’’, Ranita terheran bertanya.
“Lho, kan bapak emang udah biasa kayak gini. Lagian setiap kejadian bapak selalu belajar buat ikhlas menerima dan gak ngeluh. Lagian dengan itu juga kerjaan bapak lancar-lancar aja. Malahan makin banyak orderan yang masuk. Ujung-ujungnya bisa stabil juga, kan pemasukan? Udah ibu tenang aja, aman, kok”, respon Jamal sambil tersenyum seraya tidak tertimpa masalah demi menghilangkan kerisauan istri.
Itulah yang selalu Jamal katakan tiap kali ditanya oleh Ranita dengan menutupi kejadian sebenarnya supaya mereka yang melihat dirinya merasa baik-baik saja tanpa gelisah dan khawatir. Ia bukannya melampiaskan dengan bercerita atau sekadar menjawab jujur saja ia gelengkan kepala. Ia lebih memilih menanamnya dalam diam, hingga tak seorang pun mengetahui sedikit kebenaran. Baginya melihat orang lain tersenyum tanpa memikirkan dirinya itu lebih baik daripada mereka ikut terbawa arus kesengsaraan.
Hingga keputusasaan kembali dibisikkan ke dalam gendang telinganya,
“Kayaknya udah gak ada jalan lain, deh yang bisa ku tempuh. Ya, sudah pakai ini saja. Yang penting yang lain bisa tenang’’
Tak kuasa melihat keluarga sendiri terbebani oleh dirinya yang semakin kalut dalam hidup ia memutuskan untuk berhutang online (Pinjol) demi melunasi hutang yang sudah menggunung nilainya. Ya, benar. Peristiwa gali lubang tutup lubang tak dapat lagi terhindari, lantaran ketidakberdayaan dikejar tenggat waktu pelunasan teman-temannya, terutama Trista ia rela mati-matian menyempil di lubang tikus.
Waktu pun berlalu, pada akhirnya ia telah terbebas dari seluruh hutang yang ada di lingkungannya dengan bermodalkan uang yang didapat dari Pinjol. Pun ia juga menaikkan nominal peminjamannya untuk kehidupan istri dan 3 anaknya supaya berlangsung membaik. Dan tersisalah tanggungan besar terakhir yang dihadapinya sekarang. Namun, berbeda dengan yang lalu kini ia memilih,
“Diinformasikan kepada seluruh warga Desa Purnama telah terjadi hal yang tidak mengenakan didengar. Saudara kita, Jamal sudah hilang tiada kabar selama 3 hari berturut-turut. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang memiliki jiwa empati yang tinggi kita harus membantu keluarganya untuk mencari keberadaannya. Bagi yang pernah melihatnya terakhir kali harap segera hubungi ketua RT/RW atau langsung kepada keluarganya saja. Sekian terima kasih”, pengumuman pun disuarakan di masjid desa tersebut.
“Ya Allah, pak. Bapak di mana sekarang? Udah gak ada kabar hampir 3 harian. Berilah ia perlindungan dan keselamatan, ya Allah”, suara kecil di lubuk hati Ranita yang merasa khawatir dengan keadaann sang suami yang tak kunjung pulang.
Menginjak di hari ke empat kehilangan Jamal, Ratih yang sewaktu sedang berberes rumah lalu sampai di kamar Jamal dan merapikan kasurnya menemukan selembar kertas di bawah bantalnya, bertuliskan
“Hai Ranita, istri manisku. Semoga kamu selalu sehat dan bahagia, ya. Kau tahu, aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah mengutus bidadari cantik yang setia menemani perjuanganku mulai dari nol hingga saat ini. Canda tawa juga telah kita lalui bersama dengan anak-anak kita. Namun, aku sadar bahwa hidupmu kian hancur berserakan, tak tersusun saat berada di sampingku. Aku tak tega kau dan anak-anak terus-terusan menderita dan sengsara menjalani hidup ini. Sebab itu aku memilih untuk pergi dengan hanya meninggalkanmu beberapa uang saja yang ku letakkan di lemari. Ya, kurasa itu cukup untuk sampai 2 tahun kedepan, asalkan kau jangan boros, ya. Hehehe. Aku titipkan anak-anak kepadamu. Ryo, Rusli, dan putri kecil kita, Kirana. Jaga mereka sampai bisa membanggakan kita berdua, sampai mereka bisa membawa hidupmu ke zona nyaman tanpa beban pikiran.
Hei! Tak perlu repot-repot kau dan warga mencariku. Melalui surat ini ia telah mengabarkan bahwa aku telah pergi dengan tenang dan bahagia dari sini. Aku rela memikul bebanku, rasa sakit, dan sedih sendirian. Tapi, untuk kalian aku tak tega melihatnya. Jadi tak mengapa aku membiarkan semuanya berada di atas tanggunganku asalkan kalian tetap baik-baik saja. Tak mengapa aku merasa keberatan, kecapean, kehausan, dan kelaparan asalkan kalian tersenyum lebar. Bahkan, aku tega diriku harus pergi menjauh darimu asalkan kesialan tak menimpa keluarga kita.
Ranita, cukup sampai di sini saja, ya pertemuan kita. Tolong ikhlaskan keberangkatanku menuju rute lain. Aku yakin sekali kau akan jadi lebih baik tanpaku. Semoga saja bilamana telah sampai di tempat tujuan kita dapat berkumpul bersama-sama kembali dengan tertawa bahagia. Salam Jamal”.
Lansung saja air terjun tak terbendung keluar dari kedua mata Ranita, menangis sejadi-jadinya. Tak percaya bahwa hal ini benar terjadi di hadapannya seketika. Orang yang selama ini tersenyum lebar dan menanggapi perjalanannya dengan santai di depan khalayak demi mereka merasa tidak ada masalah yang terjadi dan tetap tertawa menikmati hidup, justru ialah yang paling menderita dibaliknya. Ia rela memendam semuanya sendiri tanpa ada yang tahu juga melepaskannya di keheningan tanpa jejak tertinggal.
00.09 WIB, Ahad 12 Januari, 2025.
Muhammad Khalid Dzu Nuroin (Student of Madarasah Darus-Sunnah)