Aku simak bibirnya beradu dengan tabu
Sejak berkidung tak lagi beri untung
Untuk hidup tak beruntung
Dan kian buntung
Lalu berperang
dengan ingkar paling pantang
Pajang perak parasnya sedari petang
Di jalan-jalan, media gelanggang jalang
Disebut-sebut "sama juga banting-tulang"
"Mampir Tuan.."
Rayu pada pejalan
harga diri apa peduli setan
"Peduli apa dengan anakku yang kelaparan"
Cinta kasih tercecer di jalan-jalan keterpaksaan
Keluar sedari petang
pulang tergantung kuasa badan
sesekali teringat, anak sendiri perawan
Ia menangis, menjerit ketakutan
jika nanti buah hati dibentur pelacuran
"Ampuni aku Tuhan"
Ia terjatuh disentuh subuh
Menangisi tubuh yang ditindih Tuan asu
sedari magrib mengambang, lirih tanpa patuh
Ia menangis penuh seluruh
Berdoa pinta ampun dengan sungguh
Dari mulut, lafal doa bercampur
aroma dahak arak dan anggur
sesekali terbatuk-batuk
sisa mabuk semalam suntuk
Nona, oo.. Nona.
Kau bunga latar paling terang
tersungkur tobat di ujung pulang
Sebelum terbaring di dalam liang
Majalengka, 6 Agustus 2020