Apa yang hendak kausebut kemanusiaan, dari Rafah.
Ketika gedung adalah patung
yang diburu dan dirongrong kehancuran
Dan jalan-jalan telah sungai darah
Mengalir, banjiri pasar-pasar kelaparan
Juga sekolah-sekolah telah mimpi buruk
yang memaksa terjaga di tiap pagi.
Begitu pun rumah-rumah adalah perapian duka
Dengan jendela yang menangis diam-diam.
Saksikan taman-taman menjadi kuburan kecil
Di mana bunga-bunga tak lagi mekar
kecuali, hanya tumbuh di lambung yang lapar
Apa yang hendak kausebut kemanusian, dari Rafah.
Saat masjid-masjid adalah suara-suara sunyi
yang memanggil-manggil Tuhan
di tengah deru peluru dan mesiu
Juga pengungsian tinggal bayang-bayang luka
di mana tenda-tenda kosong
berbicara tentang harapan yang hilang.
Dan lapangan-lapangan
menjadi medan tempur tanpa jeda
Di mana anak-anak bermain
dengan bayang kematian.
Sampai rumah sakit menjadi benteng derita
Dengan koridor-koridor sesak dipenuhi rintih tak berdaya.
Dan pusat kota medan utama kehancuran;
Puing-puing berbicara lebih lantang dari teriakan.
Maka, apa yang hendak kausebut kemanuasian lagi,
dari Rafah.
Sedang langit biru telah abu kelabu
tiap detiknya sumbat kembang-kempisnya paru
Bintang-bintang menjadi air mata yang jatuh,
Menggenang di tubuh-tubuh yang rapuh.
Apalagi yang hendak kaubaca dari Rafah
Kecuali puing-puing metafora duka
Dan tiap sudut adalah siksa
dengan berjuta bisu-bisu saksi
di depan televisi.
Kecuali Jerit bocah: lantaran dadanya pecah
Atau tangis gadis: tiap kali menghitung jarinya kurang satu
Atau bisik anak-anak bisu
pada doa yang kehilangan amin
"Bahwa suatu hari, Rafah akan berdiri kembali
meski dengan luka yang abadi."