Aku perempuan biasa,
yang jarang berani menaruh kata cinta di meja makan,
tapi padamu — segalanya tumpah,
seperti air hangat yang kau seduhkan di gelas retak,
tetap utuh, tetap cukup.
Lelaki,
yang diam-diam kupelajari cara napasnya menenangkanku,
yang tangannya jadi rumah paling senyap di tengah gaduhku,
yang matanya menjemput mimpi-mimpiku pulang.
Kalau suatu malam kau ragu,
ingatlah:
aku perempuanmu yang berdiri di belakang bahumu,
bukan untuk bersembunyi,
tapi untuk jadi saksi bahwa kau selalu layak dicintai,
bahkan di hari kau merasa paling sendiri.