Biarlah dia hilang, seperti janji yang pernah menempel di langit bibirnya — kini luruh jadi debu, menari di udara: tanpa arah, tanpa pulang. Aku menatap sisa kata...
Mereka pertama kali bertemu di halte bus, di kota kecil yang selalu diguyur hujan saat senja datang. Rania duduk memeluk ransel, menatap basah aspal yang memantulkan lampu jalan. Bayu berdiri di sa...
Aku menunggumu di kursi yang dingin, di sudut kafe yang menua oleh sisa hujan. Kau datang di kepalaku, tapi tidak di pintu. Namamu jatuh di bibirku
Di ruang ini, kata-kata membeku, janji beterbangan, hinggap di dinding bisu. Kau bilang rindu, tapi langkahmu di mana? Kau bisik serius, tapi gerakmu ke mana? Ak...
Di jantung kota berdiri gedung kaca, megah dan dingin. Di dalamnya, para tikus berdasi berkumpul saban pagi. Mereka duduk melingkar, menjilat anggaran, meneguk kopi impor, dan berdebat bagaimana me...
Aku perempuan biasa, yang jarang berani menaruh kata cinta di meja makan, tapi padamu — segalanya tumpah, seperti air hangat yang kau seduhkan di gelas retak, tetap utuh, te...
Pasar-pasar di kota sering tumbuh seperti anak tiri di sudut rencana tata ruang. Mereka dihidupi orang-orang yang jarang tercatat di rapat-rapat perumusan kebijakan. Di sinilah orang-orang menjual...
Ada satu ruang kosong di baris akhir doaku, yang selalu kusisakan untuk namamu. Huruf-hurufnya kutulis pelan, supaya semesta tak salah dengar, tak salah menjemput siapa yang...
Langit pagi di desa kami selalu tampak sabar. Ia tak pernah marah meski terus menunggu, seperti Ibu yang setiap sore duduk di kursi rotan menatap jalan setapak—jalan yang tak lagi dilalui siapa pun...
Langit di atas Gaza terlalu berat menanggung doa— yang beterbangan tanpa sayap, menabrak rudal, gugur di pangkuan ibu yang kehabisan air mata. Tanah retak m...