Aku menunggumu
di kursi yang dingin,
di sudut kafe yang menua
oleh sisa hujan.
Kau datang di kepalaku,
tapi tidak di pintu.
Namamu jatuh di bibirku
seperti doa yang kau lupakan.
Aku menulismu
di uap gelas kopi,
aku menelan getirnya
bersama jarak yang tidak pandai pulang.
Rinduku duduk di sebelahku,
berbisik pelan:
kau pun barangkali tidak rindu —
hanya aku yang menua
menanti langkahmu yang selalu salah alamat.