

Aku pernah menanam diriku
di dalam hidup seseorang—
menyiramnya setiap pagi dengan sabar,
menunggu musim berganti
bersama doa-doa yang tak pernah selesai.
Kupikir, cinta cukup untuk melembutkan tanah yang keras,
bahwa kesetiaan bisa menggantikan cahaya matahari.
Kupikir, bila aku bertahan cukup lama,
akar kami akan saling bertaut,
dan tak akan ada lagi yang harus pergi.
Tapi tidak semua tanah
ditakdirkan menumbuhkan sesuatu.
Tidak semua hujan membawa hidup—
ada yang hanya menyisakan lumpur,
menenggelamkan langkah-langkah yang dulu yakin.
Kini aku berdiri di tepi ladang kosong,
menatap segala yang pernah kuharapkan tumbuh,
dan belajar bahwa kadang,
yang bisa kita lakukan hanyalah berhenti menyiram—
bukan karena berhenti mencinta,
melainkan karena akhirnya mengerti:
cinta pun butuh tanah yang mau hidup bersama.

