Mereka pertama kali bertemu di halte bus, di kota kecil yang selalu diguyur hujan saat senja datang. Rania duduk memeluk ransel, menatap basah aspal yang memantulkan lampu jalan. Bayu berdiri di sampingnya, mengetik pesan yang tak kunjung ia kirimkan.
Sejak itu, mereka bertukar pulang: kopi di kedai dekat stasiun, pulpen pinjaman di perpustakaan, obrolan larut malam yang mengikat kata demi kata jadi rahasia. Rania pernah bilang, “Kalau suatu hari kita harus pergi, kau mau kemana?”
Bayu hanya tersenyum, “Kalau pergi darimu, aku nggak tahu harus pulang ke siapa.”
Sayangnya, waktu tidak selalu menuruti doa. Suatu sore, Rania datang dengan mata sembab. Tangannya menggenggam undangan tipis, jemarinya gemetar seolah berharap huruf-huruf di sana bisa terhapus oleh air mata.
"Ayahku... sudah memilihkan seseorang. Aku harus menikah bulan depan."
Bayu menatap wajahnya lama. Di matanya, Rania tetap gadis yang dulu ia temui di halte bus: hangat, tapi selalu tampak sepi. Tak ada kata tanya. Tak ada amarah. Hanya dada yang sesak oleh kalimat yang gagal diucap.
Mereka duduk berdua di bangku taman, di antara dedaunan jatuh yang tertiup angin sore. Langit jingga pecah di antara cabang pohon. Sore itu, cinta tidak pernah terasa seindah sekaligus segetir itu.
"Kalau boleh, aku mau minta satu hal," bisik Bayu.
"Apa?"
"Biarkan aku tetap mengenangmu sebagai rumah yang tak sempat aku tinggali. Biar nanti, kalau aku rindu, aku tahu ke mana harus pulang—meski cuma di kepala."
Dan Rania pun pergi. Dengan langkah kecil, ia titipkan sisa-sisa mimpi di telapak tangan Bayu, berharap waktu bisa menjaga, meski tak bisa menepati.
---
“Beberapa cinta diciptakan untuk saling menemukan, tapi tidak untuk saling memiliki. Dan itu pun sudah cukup
untuk disebut pulang.”