

Malam ini, aku duduk di antara dua cangkir yang mendingin,
satu untukku, satu lagi untukmu—
yang tak pernah benar-benar tiba,
tapi masih kutunggu seolah janji bisa menyalakan api di udara.
Kita tidak sedang baik-baik saja,
aku tahu dari caramu menatapku
seperti membaca buku yang sudah ingin kau tutup,
tapi tak tega menandai halamannya.
Ada yang perlahan berubah,
entah dari cara kita tertawa,
atau dari cara kata “pulang” kini terdengar
seperti alamat yang tak lagi kita hafal.
Namun, tak apa.
Kita sudah pernah bahagia, bukan?
Pernah jadi langit dan laut
yang saling mencari meski tak bisa benar-benar bersentuhan.
Dan jika suatu hari
yang tersisa hanyalah sisa-sisa dari kita—
biarlah.
Karena bahkan rembulan pun tetap indah,
meski ia hanya separuh,
dan sisanya hilang dalam gelap yang tak bisa kita namai.

