Di jantung kota berdiri gedung kaca, megah dan dingin. Di dalamnya, para tikus berdasi berkumpul saban pagi. Mereka duduk melingkar, menjilat anggaran, meneguk kopi impor, dan berdebat bagaimana membelah peta kota seperti memotong kue ulang tahun.
Di antara tikus-tikus muda yang dasinya masih licin, ada satu Tikus Veteran. Dasi di lehernya sudah pudar warnanya, giginya tinggal separuh, tapi tangannya masih cekatan menandatangani kertas. Dialah guru para tikus muda—orang-orang memanggilnya Pak Baya, singkatan dari Bahagia Karena Kaya.
Pak Baya hafal bagaimana cara mengunyah anggaran tanpa meninggalkan tulang. Dulu, katanya, ia mulai dari bangku sempit di kantor kelurahan. Mengurus beras miskin, sembako bencana, dana tunjangan —sedikit demi sedikit, ia cicil rumah, beli mobil, membiayai anak-anaknya jadi orang penting. Sekarang anak-anaknya duduk di rapat yang sama, menepuk bahu bapaknya sambil membisikkan proyek baru.
“Dulu bapak makan dari nasi rakyat, sekarang gantian kalian yang makan, tapi pakai garpu perak,” kata Pak Baya sambil tertawa kecil, menepuk meja rapat.
Di luar kaca, bocah penjual koran menempelkan dahinya ke pintu putar mal. Di dalam, hawa dingin AC menampar panas siang. Ibunya di rumah menanak beras pinjaman, berharap besok ada sisa uang buat beli lauk. Bocah itu belum tahu, di gedung rapat itu, namanya hanya angka statistik: Anak Putus Sekolah 1/1.
Suatu sore, seorang wartawan muda datang ke gedung megah itu. Ia mengetuk pintu ruang rapat, membawa daftar pertanyaan tentang proyek jalan tol yang menelan sawah rakyat. Pak Baya tersenyum tipis, mempersilakan masuk, menawari kopi mahal.
“Masih muda ya, Nak? Hati-hati. Negara ini butuh orang jujur — tapi bukan di sini tempatnya,” bisik Pak Baya sambil menandatangani berkas yang lebih tebal dari koran si bocah.
Malamnya, Pak Baya pulang ke rumahnya yang punya kolam renang. Di teras, ia memetik daun bonsai sambil menonton berita demo buruh di TV. Di layar, rakyat berteriak menuntut upah layak. Pak Baya menyalakan rokoknya, tersenyum pelan.
“Demo itu penting, biar kita ingat mereka masih hidup,” gumamnya. Ia tahu besok pagi ia akan rapat lagi — memikirkan bagaimana membangun mall baru, menukar pasar tradisional dengan taman beton, menulis janji manis di baliho, dan memberi makan tikus-tikus baru agar tetap kenyang.
Di gang sempit, bocah penjual koran memeluk ibunya yang tertidur lapar. Sedangkan di gedung megah, Pak Baya memeluk mimpi: agar anak-cucunya bisa memakai dasi yang sama, mengunyah anggaran yang sama—dan rakyat tetap percaya, bahwa tikus hanyalah hama kecil di selokan.