Kami berdua—aku dan Mas Havis—
ibarat dua langit berbeda warna,
bertemu di garis senja yang tak pernah memaksa.
Kami sering berdialektika,
kadang berbenturan dalam diam,
kadang saling mempertanyakan dalam ruang yang tak selalu sepakat.
Aku, dengan segala riuh di kepalaku,
datang membawa tanya,
yang kadang terlalu banyak, terlalu cepat,
dan terlalu penuh rasa ingin tahu.
“Mas… aku mikirin ini terus.
Aku pengen ngerti, tapi juga takut salah.
Ini tuh ganggu pikiranku…”
Dan Mas Havis—dengan nada yang lembut,
tatapan yang tak menghakimi,
dan sikap yang selalu hadir penuh—
menjawab tanpa terburu:
“Baik. Aku luruskan ya…
Jadi, yang kamu maksud itu begini,
dan yang sebenarnya terjadi, begitu…”
Ia tak pernah meninggikan nada,
tak pernah memintaku untuk berhenti berpikir.
Ia tak merasa terganggu oleh kalutku,
justru ia bantu menjernihkan.
Lalu hening. Tapi bukan hening yang sepi,
melainkan hening yang penuh arti.
Seperti ruang sunyi yang aman,
tempat aku boleh lelah tanpa ditanya kenapa.
Darinya, aku belajar bahwa
berbeda pandangan bukan alasan untuk saling menjauh,
melainkan kesempatan untuk saling menyapa
lebih dalam, lebih jujur, lebih manusia.
Dan pada akhirnya,
aku merasa nyaman.
Bukan karena semua jawabannya sempurna,
tapi karena caranya menjawab,
membuat aku merasa dimengerti.