Sementara aku—aku adalah anak dari revolusi, dibesarkan dalam kegentingan kelas dan ketimpangan, dan tak pernah percaya bahwa perubahan bisa menunggu abad demi abad.
Aku mencintaimu bukan karena kita sepakat, tapi karena kita terus bertarung. Kau menulis dengan tinta arkeologi waktu, aku membalas dengan api yang membakar sistem. Tapi satu hal yang tak berubah: yang membuat dunia ini kejam bukan ideologi yang kita pelajari, melainkan manusia yang menggunakannya tanpa nurani.
Dan mungkin, dalam perdebatan tanpa ujung ini, kita tak pernah benar-benar ingin saling meyakinkan. Kita hanya ingin didengar. Dipahami. Disangkal, tapi tidak diabaikan.
Jika sejarah adalah tragedi yang diulang, maka biarkan kita jadi puisinya—dua pemikir yang saling menyakiti dengan kalimat, tapi diam-diam saling menunggu di baris akhir paragraf.
Dengan dialektika dan sedikit cinta,
Aku, yang Marxisme.