Aku dan Mas Havis duduk berhadapan di meja kayu yang sudah mulai berumur. Di antara kami, buku-buku terbuka, kopi mengepul, dan obrolan mengalir.
“Kamu sadar nggak,” kata Mas Havis, “semakin banyak kita baca, semakin kita sadar kalau kita nggak tahu apa-apa.”
Aku tersenyum. “Itu karena ilmu bikin kita rendah hati. Beda sama sekadar opini.”
Kami sering begini—membedah pemikiran para tokoh, dari Kuhn sampai Foucault, lalu mengaitkannya ke hidup. Tentang bagaimana krisis bisa jadi titik balik, atau bagaimana teori bisa jadi cermin untuk memahami diri.
Diskusi kami bukan sekadar menambah wawasan, tapi jadi jalan untuk tumbuh. Dan di antara tumpukan buku itu, kami saling belajar—bukan siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling mau mendengar.
Di meja kayu itu, ilmu bukan lagi soal tahu banyak, tapi soal terus mencari.