Kampus, seperti dunia dalam miniatur, adalah ruang yang penuh kemungkinan. Ia serupa lautan: terlihat tenang dari kejauhan, tetapi penuh arus bawah yang tak terlihat. Bagi seorang perempuan sepertiku, lautan ini sering kali terlalu liar, terlalu bising. Ruang aman tidak pernah menjadi milik perempuan secara utuh; ia adalah kemewahan yang harus direngkuh dengan perjuangan.
Namun, apakah ruang aman itu benar-benar ada? Ataukah ia hanya konsep yang lahir dari kerinduan akan keadilan yang tidak pernah utuh? Dalam refleksi ini, aku bertemu Mas Havis—bukan kebetulan, tetapi mungkin bagian dari takdir yang merangkai benang kehidupan.
Hari itu, aku menangis di pojok perpustakaan. Bukan karena lemahnya hati, tetapi karena beban yang tak lagi mampu kupikul sendiri. Dalam diam yang berat, Mas Havis hadir. Ia tidak menawarkan solusi, tidak menghakimi, tidak juga bertanya apa sebabnya. Ia hanya hadir, menjadi saksi dari luka yang tak terlihat.
"Ada ruang dalam setiap jiwa manusia," katanya perlahan, "Ruang yang tidak terlihat, tapi bisa kau rasakan. Ruang itu adalah tempat kita menata ulang keberanian, mencari makna, dan menemukan diri."
Kata-katanya tidak seperti nasihat yang sering kudengar. Ia seperti cermin, memantulkan pertanyaan yang tak pernah kusadari ada dalam diriku. Apakah rasa aman benar-benar ada di luar, ataukah ia sesuatu yang harus kita bangun dari dalam?
Mas Havis tidak mengajarkanku untuk melawan dunia; ia mengajarkanku untuk mengenali diriku di dalam dunia itu. "Kita semua adalah labirin," katanya lagi, "Tetapi selalu ada jalan keluar, selama kita tidak berhenti mencari."
Aku menyadari, ruang aman bukan hanya tentang dinding fisik atau tangan yang melindungi. Ia adalah tentang kehadiran: kehadiran seseorang yang percaya bahwa kita mampu bertahan, bahkan saat dunia terlihat ingin meruntuhkan kita.
Maka, kampus ini bukan lagi hanya lautan yang ganas. Ia adalah cermin besar, tempat aku belajar tentang keberanian, ketakutan, dan makna hidup. Dan di dalam perjalanan ini, aku menemukan bahwa setiap manusia, dalam cara mereka sendiri, adalah ruang aman bagi jiwa-jiwa yang mereka sentuh.