

Sedangkan aku, anak revolusi, lahir dari kegentingan kelas bawah. Darahku adalah darah proletar, mengalir dari peluh kaum tani yang menanam padi namun dibiarkan lapar; dari tangan yang lebih akrab dengan cangkul daripada pena, karena alat produksi tidak pernah menjadi miliknya; dari dada yang menyimpan getir, sebab tanah tempat berpijak telah diprivatisasi oleh segelintir pemilik modal. Aku tumbuh dari kegelisahan itu—dari kontradiksi sebuah bangsa yang menyebut dirinya agraris, tetapi menyingkirkan kelas yang justru menjadi tulang punggungnya.
Aku, anak revolusi, menolak tunduk pada diam. Karena aku lahir bukan dari kenyamanan borjuis, melainkan dari kegentingan rakyat kecil yang dipaksa melawan. Dari lapisan bawah yang diperas tenaganya, dari kelas yang ditindas namun selalu menopang keberlangsungan masyarakat. Hari Tani bukanlah seremonial; ia adalah penanda bahwa pertarungan kelas terus berlangsung. Bahwa tanpa penguasaan rakyat atas tanah dan alat produksi, keadilan hanyalah ilusi.

