

Aku kehilangan orientasi waktu,
dibalik jeruji sel yang setiap paginya
selalu tampak sama.
Orang-orang menyebutku tapol,
tahanan politik—
label yang mestinya sudah usang,
tapi masih saja dipakai
seakan dunia belum benar-benar berubah.
Di era yang katanya modern,
di mana orang bebas berpendapat di layar kaca,
kenapa justru aku, wahai Tuan,
yang harus menjawab pikiranku
dengan tembok dan gembok?
Aku tidak sedang mencari heroik apa pun.
Aku hanya duduk di sudut ruangan ini,
menghitung langkah penjaga,
mendengar suara kunci yang kadang terlalu dekat,
kadang terlalu jauh.
Di sini, siang terasa panjang,
malam terasa pendek,
dan jam di dinding tak pernah benar-benar memberi arah.
Aku bukan ingin membantah dunia—
aku hanya ingin mengerti
kenapa perbedaan pandangan
masih dianggap ancaman,
dan kenapa percakapan
lebih sering diganti dengan pengawasan.
Meski begitu, aku tetap menunggu:
menunggu pintu dibuka,
menunggu pikiranku tak lagi dianggap bahaya,
menunggu hari di mana aku bisa berkata
bahwa semua ini akhirnya masuk akal.
Untuk sekarang,
aku hanya manusia dalam sel,
yang mencoba tetap waras
di tengah alasan-alasan
yang tak pernah benar-benar dijelaska

