sudah aku tumbalkan butir darah terakhir
pada ngelangut bermandi debu
sejak kali pertama aku berani
meminum air tanah kotamu
---bergaram perih di tenggorokan---
maka ketika tak ada sapa
darimu di senja itu, tak ada
terperangah apalagi tergugu
sebagaimana pecinta musim lalu
bahasa nafas kotamu
dengan petanda runcing memisau
piawai mengajari untuk melukai
terpahat tak hanya empu ngelangut ini
yang membatu, yang membakar diri,
yang menyalibkan mimpi,
di pesta-pesta tanpa usai
mungkin hanya langit gelap di atas itu
--- yang tak pernah mengenal sedu---
serupa karib mendengarkan selalu
aku dan ngelangutku mengadukan
kesepian satu dan seterusnya
kelukaan dua dan sebagainya
khianatan tiga dan sepenunggalannya
di kotamu, di kotamu
(Surabaya, 2020)
Catatan:
Puisi ini bersama 3 (tiga) puisi lainnya pernah tayang di Rubrik Serat - Suara Merdeka edisi 26 Januari 2020.