Aku Dulu Sangat Membenci Gus Dur
Kutipan Cerpen Aku Dulu Sangat Membenci Gus Dur
Karya anjrahlelonobroto
Baca selengkapnya di Penakota.id

--- sebuah pentigraf (cerpen tiga paragraf)



    Kupasang lukisan Gus Dur di ruang tamu, padahal dulu aku sangat membencinya. Aku lahir dan besar di Jombang, kota kelahiran Gus Dur. Tapi, aku sangat membenci Gus Dur. Kebencian ini bukan tanpa alasan. Kebencian ini lahir karena Gus Dur semasa menjadi presiden telah membubarkan Departemen Sosial, institusi tempatku mengabdi. Akibatnya, hampir setahun, aku menjadi PNS yang makan gaji buta tanpa meja, tanpa kantor, tanpa departemen. Hingga akhirnya aku bergabung di Depkumham.

    Perlu diketahui, aku menjadi PNS di Depsos, benar-benar merangkak dari bawah. Semasa mensos-nya dijabat Bu Nani, ada program Satgasos. Sebuah program yang merekrut relawan, dengan pelatihan ini-itu, lalu ditempatkan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia. Sebagai lulusan SMA tanpa masa depan jelas, aku memilih mengikuti program tersebut. Dan di pedalaman provinsi Bengkulu, aku akhirnya terdampar. Di desa terpencil dengan jarak tempuh tiga hari tiga malam ke kota kecamatan, aku akhirnya menyandarkan harapan. Lewat lima belas tahun, aku akhirnya bisa mutasi ke ibukota provinsi. Menduduki posisi sebagai staf departemen bergengsi di era Orba, aku merasakan betapa tanda tanganku menjadi begitu mahal. Satu coretan tanda tanganku bisa mengegolkan proyek-proyek besar. Aku masih ingat, betapa kas kantor Depsos provinsi bisa defisit hanya gara-gara program kirab nasional dalam rangka HKSN semasa depsos dipimpin Mbak Tutut.

    “Ayah masih membenci Gus Dur?” tanya istriku ketika melihatku berlama menatap lukisan yang baru kupasang. Istriku menyeka keringat di dahinya, kita sekeluarga memang sedang mempersiapkan acara Haul Gus Dur di rumah kami. Keluarga kami setiap Desember selalu mengadakan agenda seperti ini. Kami hanya mengundang kerabat, tetangga, dan beberapa rekan di kantor. “Kalau saja dulu tidak ada Gus Dur, mungkin ayah sampai tua tinggal di Bengkulu. Tidak menjadi orang Bandung dan kita tidak bertemu,” aku menatap wajah istriku sambil tersenyum. Setelah puluhan tahun, aku kian menyadari betapa ada hikmah di balik setiap ujian. “Maafkan saya yang dulu begitu membencimu, Gus,” bisikku dalam hati. “Al Fatihah untuk panjenengan,”

 

***

Jombang, Desember 2016



Catatan:

Masuk dalam antologi Kitab Pentigraf 1; “Robot Sempurna Sampai Alea Ingin ke Surga” (Pustaka Ilalang, 2017), ISBN: 978-602-6715-03-6.

16 Mar 2020 10:56
95
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: