Kambing Congek
Cerpen
Kutipan Cerpen Kambing Congek
Karya ariqyraihan
Baca selengkapnya di Penakota.id

Aku bosan dengan keramaian. Saat satu demi satu makhluk ciptaan Tuhan bergantian posisi—bergerak, menurut mereka—dan beberapa di antara mereka bahkan akan mulai menyunggingkan sedikit senyum atau mengangkat tangannya ketika bertemu dengan manusia yang dikenalnya tanpa sengaja ataupun tidak.


 Setiap detik, menit, dan jam. Mereka akan melakukan hal yang sama. Setiap dari mereka pasti akan melakukan hal itu, walaupun tidak di dalam konsep ruang yang sama. Kuberitahu kau, cerita ini berbahaya. Semua realita yang ada adalah apa yang kutatap dengan indera penglihatanku dan akal sehatku sendiri. Seperti kemarin, saat satpam komplek perumahan memarahiku yang tak mau beranjak dari pos miliknya, ketika aku sedang menghitung jumlah mobil yang keluar.


“Hei, minggir kau.” Teriak pria buncit berkulit gelap itu. Ada sedikit aroma kopi terkuar. Tumben dia menyeduh kopi di sepagi ini—pukul delapan. Biasanya dia hanya akan mengemil kue-kue pemberian tetangga. Aku suka melihat wanita-wanita berbadan sedang, gendut, terkadang juga ada yang berbadan seperti gitar spanyol, penghuni perumahan itu memberi setidaknya satu atau dua kotak kue setiap pagi buat si satpam. Aku suka meneriakinya perjaka tua.


Aku bertahan. Hitunganku sudah masuk ke angka delapan. Walaupun aku tahu jumlah mobil yang keluar setiap harinya, tapi melakukan hal ini adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan. Tidak tolol dan tidak merugikan orang lain. Satpam itu tak termasuk hitungan “merugikan”.

“Hei, kau duduk di sana saja dekat portal depan rumah Pak Basri,” ujarnya lagi. Kesal aku menganggapnya seperti kambing congek. Dan siapa pula itu Pak Basri.


Aku mendelik. Memasang mimik wajah datar, tanpa ekspresi. Setidaknya dimiripkan dengan anak-anak kecil di jalan yang ogah-ogahan ketika disuruh ibunya untuk memungut sampah miliknya—suka buang sembarangan. Dengan gestur tubuh sombong, aku beranjak ke seberang pos.


“Kau pergi ke pusat kota, kek! Jangan di sini. Mengganggu,”


Lagi, lagi. Aku tak mengancam nyawanya, sudah menyingkir dari pos, dan kini ia menyuruhku pergi! Berani sekali dia. Aku tak peduli umur. Semua orang berhak duduk di sini. Kecuali dia presiden. Aku mencibir.


“Heh! Kurang ajar!”


 Dia memang kambing congek.


“Pergi sana!”

        

  

Manusia memang suka membedakan. Dia tak ubahnya seperti keramaian pusat kota. Itulah mengapa aku bosan dengan keramaian. Dianggapnya yang tak sejajar dengan mereka itu sebuah surplus objek di mata mereka dan pasti akan menyuruhku pergi.

           


Sore harinya di pusat kota sama saja. Seorang nenek seolah ogah melihatku di sana, di taman kota. Padahal duduk di bangku taman adalah pekerjaan menyenangkan. Ada sebuah bangku di sudut taman yang jarang diduduki—karena menghadap ke sisi sebalik keramaian pusat kota—dan tidak populer di kalangan pengunjung.

         


“Hei, apa yang kau lakukan di sini?”

           

Kambing congek yang lain. Aku terus menatap barisan pohon di hadapanku saja. Entah apa namanya, pohon pisang mungkin. Ah, aku berharap ada pohon kelapa di sini. Aku suka memanjat sewaktu kecil.

           

“Kaudengar, tidak?”

           

Menurutmu bagaimana, gagak tua? Ya, nenek itu wajahnya seram dan sadis seperti gagak tua. Tatapannya sangat tajam ke arahku. Tapi sayangnya, dia sudah ringkih. Mending kau berdiam diri saja di panti jompo.

           

“Huh!” Dia pergi meninggalkanku. Kalau kau tidak mau duduk di sini, ngapain mengeluh? Gagak tua tak jelas. Semua orang selalu saja ingin mengusirku. Aku merebahkan tubuh di atas bangku kayu berwarna kemerahan itu. Taman itu punya dua sisi. Sisi di depan sana langsung menghadap ke arah kota, sementara di sudut belakang mereka menanami pohon yang tak satu pun kutahu namanya apa. Oh iya, mungkin ada pisang di sini.

           

Perihal soal bertemu sesama manusia itu, aku sudah memerhatikannya ribuan kali. Mereka menyebutnya sebagai “sapaan”. Cara untuk berkomunikasi untuk sesama. Dulu, aku pernah dengar seorang pemuda yang berhasil memecahkan masalah tentang ketololan. Katanya jika kau bodoh, jangan pergi ke sekolah. Bodoh itu sebenarnya fiktif. Palsu. Sebaiknya kau buat sesuatu berguna. Masalahnya aku bahkan memasak air saja tak becus.

           

Kau hanya tak perlu menggunakan otak untuk hal-hal yang tak diinginkan. Gunakan saja untuk yang kau mau. Banyak orang-orang kaya atau tokoh-tokoh di bidang teknologi yang putus kuliah. Seperti orang yang namanya disamakan dengan gerbang atau bahkan dia memiliki nama aneh yaitu “pekerjaan”. Pantas saja dia memberi orang lain pekerjaan di perusahannya. Mungkin dia terinspirasi dirinya sendiri.

           


Aku takkan menyimpulkan bahwa orang bodoh memberi pekerjaan pada orang yang pintar. Semua ada takdirnya. Takdirku? Ya seperti ini. Menghitung jumlah mobil yang keluar dari perumahan, duduk atau tiduran di bangku taman. Apa pun asalkan menghindari keramaian.

          

 Bosan! Bosan!

           

Bosan itu tingkat tertinggi dari kejemuan melakukan sesuatu. Dan aku selalu senang ketika senja berlalu digantikan sang malam. Aku punya tempat favorit. Cermin. Setiap malam, sudut pertokoan di jalan depan itu akan gelap gulita. Ketika ditingkahi cahaya bulan, aku pasti melihatnya! Dalam pantulan di kaca-kaca kusam itu. Sebuah bayangan kontradiksi. Bayangan itu lebih baik, menurutku. Tapi yang kutahu pantulan kaca itu hanya menampilkan satu buah citra saja: masa lalu.

           

“Kau tak mau kembali?” tanya seorang pemuda ketika melihatku di ujung jalan asyik melihat pantulan itu sendirian. Aku menggeleng. Dia bertanya sembari menjaga jarak.

           

“Aku selalu penasaran, mengapa kau bisa seperti ini?”

          

 Sepertinya dia baik. Dia takpantas jadi kambing congek.

Kau baru di sini? Mana aku tahu! Dulu, saat aku masih cukup pintar membedakan dengan cepat mana tusuk gigi dan jarum, aku suka berjalan di tengah keramaian. Setiap orang yang kukenal akan kusunggingkan senyum, kuangkat tanganku untuk sekadar memberi “sapaan” itu. Tapi, ketika kebakaran rumah Ibu dan menewaskannya, semuanya menjadi kacau. Mereka—orangorang itu—bahkan tak mengakuiku ada! Padahal aku terus melakukan hal yang sama kepada mereka.

           

“Mereka gila,” ujarku. Tanpa melihat wajah pemuda itu.

           

Dia mengernyitkan dahi. “Apanya yang gila? Bukankah hal biasa mereka berhenti melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan saat mereka tak lagi menyukai sesuatu?”

           

Ribet sekali jawabanmu, pemuda kurus! Aku tahu itu! Tapi, kau tentu tahu saat kau memiliki orang terkasih, setelah kejadian itu dia berubah jijik padamu? Membencimu? Kau pikir itu mudah? Saat kau kehilangan segalanya justru kau diasingkan oleh keramaian? Bosan tahu! Karena itu aku mencoba untuk mencari kesepian. Barangkali di sana aku lebih diterima dibandingkan di tengah keramaian.

           

“Ayolah, alasan klise itu. Memangnya kau monster apa?” pemuda itu mendekatiku.

           

Aku menolehkan wajah. “Sialan! Kau memang monster!” jeritnya. Dan kemudian dia memperlihatkan mimik wajah jijik dan pergi dari hadapanku. Ternyata dia juga kambing congek. Semua orang sama saja. Lebih baik seperti ini, di tengah kesepian.

           

Aku kembali melihat ke cermin pertokoan itu, ditambah pantulan cahaya bulan. Siluetku terlihat jelas. Berantakan. Kulit melepuh. Takpantas dilihat. Apa pun, yang mereka sebutkan setelah kebakaran yang merenggut Ibu. Setelah aku diasingkan oleh keramaian, aku mendengar suara-suara di kepala, yang kini mengontrol diriku separuhnya. Seperti ucapan nenek tua tadi siang sebelum dia pergi,

           

“Kau orang gila tak tahu diri,”

           

Dan aku tersenyum mendengar pendapat pemuda tadi itu tentangku.



       


01 Nov 2022 10:25
42
Gang Sentiong, Jl. Kramat Pulo Dalam 1, Kramat, Kec. Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10450
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: