Percakapan Tentang Sebuah Buku
Cerpen
Kutipan Cerpen Percakapan Tentang Sebuah Buku
Karya ariqyraihan
Baca selengkapnya di Penakota.id

Saya diciptakan oleh Tuhan dari kebencian-kebencian manusia terhadap orang tua saya. Dan, saya tumbuh di dalam hidup dari kebencian orang-orang kepada saya.


 


Aku menemukan potongan kalimat ini dari dalam sebuah buku yang tak sengaja dibeli di lapak bekas Senen lima hari yang lalu. Nama penulisnya adalah Anonim dan terbit di tahun 2010. Setelah sekian lama tidak membaca karena sibuk dengan pekerjaanku sebagai penulis dokumen teknis di startup, aku pun ingin memanaskan kembali mesin kepalaku yang telah lama berdebu.


 


Aku selalu membawa buku ini setiap nongkrong di warkop Mang Jui depan kompleks setiap sore. Ini adalah agenda wajib setiap hari Minggu datang. Biasanya beberapa pemuda tetangga seperti Ardi dan Kenyot akan ikut berbincang di sini, membahas apa-pun, tentu saja tentang perempuan juga. Namun, hari ini mereka sedang sok sibuk melakukan hal lainnya.


 


“Buku yang bagus,” sahut seorang lelaki yang sepertinya lebih tua dariku. Ia datang di kursi sebelah--aku mengambil bangku yang menyatu dengan meja saji--dan matanya menatap lekat ke bukuku yang meletak lemah di atas meja.


 


Aku melirik ke arah lelaki itu. Orang Asing. Sedikit gemuk dengan rambut bergelombang seperti ombak di malam hari.


 


“Kau pernah membacanya?” tanyaku.


 


Dia hanya mengangguk lemah sembari tersenyum. “Mas, kopi susunya 1 sama roti bakar cokelat keju, ya.” Lelaki itu mencari penjaga warkop dan menyampaikan pesanannya.


 


Warkop adalah tempat di mana segala bentuk manusia ada di dalamnya. Termasuk orang asing. Aku pernah menemukan pemabuk yang sedang kelaparan di sini, lalu ada mahasiswi cantik yang setiap Minggu selama 3 pekan selalu duduk di pojok belakang warkop memesan segelas susu cokelat hangat dan taklama dia akan menangis, dan lainnya.


 


“Buku karya Anonim, kan? Ya, aku tahu seluk-beluk buku itu. Lucu sekali seseorang menggunakan nama Anonim untuk menjadi anonim.”


 


Aku hampir tidak percaya jika di momen pertama dengan orang asing kami akan sependapat seperti ini.


 


“Ya! Aku juga begitu. Nama penulisnya sudah cukup membuatku untuk membeli buku ini.”


 


“Sudah berapa halaman kaubaca?”


 


“Dua ratus dua.”


 


“Kau harus selesaikan sampai tiga ratus.”


 


“Kenapa?”


 


“Di mana keseruannya jika aku memberitahumu?”


 


Aku tertawa kecil. Bangsat, benar juga lelaki asing ini. Dia menyeruput kopi susunya dan menyicipi roti bakar potong demi potong. Aku menghabiskan sisa es teh manisku karena merasa percakapan ini akan jadi menarik. Aku tidak ingin rasa haus mengganggu.


 


“Aku suka pembuka buku ini. Saya diciptakan dari kebencian orang pada orang tua saya. Dan saya tumbuh dari kebencian orang kepada saya.


 


“Tidak semua kedepresian harus ditampilkan dengan kesedihan dan melankolis.”


 


Anjing. Lagi-lagi aku setuju dengan lelaki ini. Siapa, sih, ia sebenarnya? Percakapan yang acak namun terarah ini membuatku begitu penasaran. Ini bukan karena aku biasanya sangat mudah penasaran dengan sesuatu, tetapi di sepanjang sejarah hidupku, tidak pernah ada orang asing sepertinya yang bisa satu pikiran di percakapan pertama.


 


Aku selalu percaya hidup tanpa konflik seperti masakan tanpa garam. Hambar. Dan kesedihan adalah satu hal bodoh yang pernah diciptakan Tuhan karena sesungguhnya Ia tidak menciptakan solusi lain dari ketidakmampuan manusia untuk menerima takdir yang buruk. Depresi adalah salah satu reaksi yang diciptakan manusia.


 


Di sisi lain, kebiasaan burukku kembali datang: memerhatikan orang asing itu sekujur tubuh dan membandingkannya dengan diriku. Keanehan itu tetap ada karena ternyata kami begitu mirip: wajah yang tegas bagai karang dan hidung yang nyaris datar. Aku menggeser sedikit tubuhku, mengarah pada lelaki asing itu.


 


“Apa yang kauketahui tentang kebencian?”


 


Tiada orang di dunia ini yang akan bertanya begitu pada orang asing. Aku pemecah rekor dunia.


 


“Kebencian itu ialah apresiasi terbaik yang diberikan manusia lain padamu.”


 


Aku mengernyitkan dahi sedikit. Sepertinya harus sedikit mencerna pernyataannya. Percakapan yang cukup berat bagi orang-orang yang menghabiskan waktunya di Warkop Mang Jui.


 


“Kenapa begitu?”


 


“Orang-orang memberimu pujian bukan karena mereka menyukaimu. Sebaliknya, mereka membuatku lengah hingga akhirnya kau terpuruk dan kelak mereka akan melangkahimu. Menertawai kebodohan yang kaulakukan. Pujian itu racun.”


 


“Jadi, kebencian adalah kebaikan?” tanyaku memotong.


 


“Betul,” jawabnya. Ia sedikit tersenyum.


 


“Apa, sih pekerjaanmu?” tanyaku lagi. Mencoba mengeruk sesuatu yang lain.


 


Lelaki itu menggaruk tangannya sedikit yang memiliki warna kulit terbakar. Terlihat kontras denganku yang berwarna sama dengan buah kelengkeng--aku menghabiskan masa kecilku dengan olokan nama buah itu.


 


“Berkelana. Mencari sesuatu yang bisa ditulis.”


 


Ia kembali menyeruput kopi susunya. Pandanganku sedikit teralihkan ketika seorang mahasiswi duduk di pojokan dan memesan secangkir susu cokelat hangat pada pelayan. Aku selalu tahu gadis itu adalah mahasiswi karena dia selalu membawa tas, mengeluarkan laptopnya, lalu duduk lama di situ sembari mengetikkan sesuatu. Dalam kepercayaanku, orang seperti itu adalah pelajar kuliah.


 


“Kau penulis?”


 


“Terserah kau menganggapku seperti apa. Aku berkelana hanya untuk memburu informasi atau menemukan kata-kata baru untuk dituliskan.”


 


“Kalau begitu kau adalah penulis.”


 


“Apa pedulimu?”


 


Sial, batinku. “Hanya bertanya saja.”


 


“Kau menggiringku terlalu jauh dari topik tentang buku ini.” Lelaki itu menunjuk buku yang kuletakkan di atas meja tadi. “Bagaimana konsep kebencian menurutmu?”


 


Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.


 


“Apa … ya? Menurutku, kebencian cuman sekadar perasaan yang diciptakan manusia untuk membuat orang lain peduli terhadapnya. Karena benar seperti katamu, kepedulian itu palsu. Enggak ada manusia yang benar-benar peduli dengan lainnya. Mereka hanya ingin mencari sesuatu untuk diketahui. Kalau sudah enggak butuh, mereka akan pergi. Kebencian diciptakan untuk memecah siklus itu. Membuat mereka pergi lebih awal.”


 


Ia tertawa. Cukup kencang. Beberapa pasang mata di dekat kami memandanginya dengan tatapan yang aneh.


 


“Kau kenapa tertawa?”


 


Ia menahan tawanya sejenak dan berusaha bernapas tenang. “Aku seperti melihat cermin sendiri! Bedanya kau kurus, rambutmu lurus, dan wajahmu lebih baik dariku! Cuman aku tahu kita punya pikiran yang sama.”


 


“Ya, aku juga,” kataku ragu-ragu.


 


“Kejadian apa yang membuatmu berpikir begitu?” tanya lelaki itu.


 


Aku menggelengkan kepala. “Tidak ada yang spesifik. Membaca buku ini membuka pikiranku. Lalu, aku teringat perundungan di masa kecil hanya karena warna kulitku dan ketiadaan orang tuaku di rumah.”


 


“Ke mana mereka?”


 


“Meninggal karena kecelakaan sewaktu aku kelas 3 sd.”


 


“Ah,” ujarnya singkat, lalu menghabiskan sisa kopi susun dan roti bakarnya. “Kau harus tahu satu hal, temanku ….”


 


Satu momen percakapan belum membuatku menjadi temanmu, wahai orang asing. Walaupun menurutmu aku adalah cerminanmu.


 


“Kau tidak perlu repot memikirkan definisi kebencian,” ujar lelaki itu. “Buku yang sedang kaubaca itu akan menjelaskan semuanya. Tetapi aku akan memberimu sedikit bocoran: jangan takut terhadap kebencian. Biarkan orang-orang membencimu. Di sanalah kekuatan besar tersimpan dan kau harus menyerapnya. Biarkan kebencian itu mengalir di pembuluh darahmu seperti sungai mengaliri tanah-tanah yang kering. Biarkan ia jatuh seperti hujan membasuh tubuhmu. Entah karena orang tidak sependapat denganmu lalu mereka memandangmu rendah, meskipun kau lebih buruk dari mereka, meskipun orang lain menganggapmu sebagai sampah, jangan takut. Karena dari kebencian, kau akan benar-benar merasa hidup. Satu hal yang takboleh kaulakukan: membenci orang lain.”


 


Aku terdiam mendengarkan perkataan lelaki itu. Bangsat, dia tidak salah!


 


“Membenci orang lain akan melemahkanmu, tetapi jika kau menerima orang lain membencimu, di situlah kau akan benar-benar diakui oleh Tuhan,” ujar lelaki itu lagi.


 


Rasanya dadaku begitu bergemuruh merayakan betapa tepatnya setiap perkataan lelaki itu. Seseorang yang entah dari mana datang lalu duduk di sampingku. Yang begitu lamanya tak pernah kutemukan di warkop ini.


 


Lelaki itu beranjak dari bangkunya, menepuk-nepuk kemejanya¾mungkin membersihkan sisa remah-remah roti, lalu menepuk pelan pundakku.


 


“Sampai ketemu lagi, teman. Percakapan yang menyenangkan.”


 


Ia pun melangkah keluar warkop. Sebelum lelaki itu menghilang, aku memanggilnya dengan sebutan acak lalu bertanya,


 


“Eh, namamu siapa?”


 


Ia cuman tersenyum.


 


“Namaku Anonim.” Lalu lelaki itu pun berbalik badan dan menghilang di persimpangan jalan.


 


Aku pun tersenyum bodoh. Bangsat, pantas saja dia begitu paham dengan pikiranku. Dasar penulis sialan.


 


 


 


The End


 

15 Dec 2019 17:07
276
Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: