Kami iba, terjeda, dan mengalah pada akhirnya.
Lembaran bukunya semakin usang, tetapi kami memilih menambalnya.
Banyak hewan buas mengincar dengan kuku dan gigi tajamnya, bisakah kami melawannya?
Dialog sumbang berputar-putar seperti bianglala, bahkan bulan ikut jatuh untuk memecahbelah seisi semesta, lalu kami juga ikut campur membuatnya semakin porak poranda. Bukankah ini berbahaya?
Kamu mengambil katana lalu memenggal kepalaku, padahal semula kami beserta.
Sekarang tubuhku tidak utuh, namun semuanya tidak masalah selagi darah kita masih mencair bersama.
Kali ini kamu ikut serta merobek jantungmu bertepatan dengan habisnya tenaga dari Si Tubuh Tanpa Kepala.
Tetapi kamu tetap utuh, cinta.
Kenapa tidak kepalamu yang juga kau penggal agar kita kembali serupa?
Tubuh ini memucat kehabisan darah, kamupun juga.
Kita sama-sama mati dalam keadaan mengenaskan, tapi setidaknya ragamu sempurna.
Jika seseorang memberikanmu jantung lainnya, tubuhmu mungkin bisa kembali berirama, namun aku sudah pasti sebaliknya.
Puisi ini dingin, seperti jasad kita yang semakin membeku di pinggiran sana.
Padahal, kamu yang meminta, namun malah kami yang binasa.
Tetapi kamu tetap utuh, cinta.