Baru kemarin euforia bersenandung sampai rasanya tubuh ini kembung,
namun semuanya yang sombong memang mudah membuat kita pincang.
Tak terlihat lagi jembatan yang semula menjadi penghubung arah kita pulang, yang tersisa kini hanyalah bayang.
Tak ada yang salah dari perasaan kita, sayang.
Akulah yang terlalu kelabu untuk menelaah sesuatu.
Mungkin aku yang keliru, dan kamu mencoba membantu, namun sekali lagi semuanya tetap abu.
Rasanya seperti melemparkan iblis ke dalam surga yang parau, namun katamu lebih baik begitu.
Apakah jalan pulang kita masih pada titik temu yang lalu?
Aku tersesat pada benang kusut dalam kepalamu, terjerembab jauh sampai aku tiba pada babak baru.
Lembaran ini semakin sendu, perkatanya menjadi rancu, huruf demi hurufnya mengadu.
Kita membisu,
menunggu sesiapa yang terlebih dahulu hirau,
merobek kertas payau,
mengisi tinta baru,
lalu sisanya kuserahkan kepadamu.
Apakah bangunan asa kita masih layak untuk diramu?
Semoga saja doa kita bisa membantu,
walau kenyataannya hari ini masih buntu.