Alam bebas membentang luas beserta isinya,
kutemukan kamu di antara belukar gelap yang kehadirannya tak pernah terlintas ada.
Membiarkan duri dan ilalang melilit raga ini sampai warnanya ungu menyala,
namun katanya ini asmara.
Nyawaku hampir terbang melanglang buana,
sepertinya tuhan memberiku tambahan tiga nyawa.
Tubuhku tetap merona meski penuh bekas luka.
Kutarik tanganmu menjauh dari sana,
sialnya kakiku terjerat jebakan pemburu yang semula terbuka, dan ini nyawa yang terakhir kalinya.
Kuseret raga rapuh ini seakan tak pernah ada rasa binasa, kamu yang menuntunnya.
Selanjutnya kamu mengeluarkan sesuatu dari saku baju usangmu,
ternyata sebuah tali yang kau ramu dengan balutan bambu dan kayu.
Untuk apa tali itu?
Adegan selanjutnya rupanya bukan yang pembaca mau, karena kini tanganmu bergerak cepat mengikat tubuhku,
dan jeratan tali itu menambah masalah baru.
Aku. butuh. napas. baru.
Semuanya menjerat sampai rasanya sulit bergerak leluasa,
Katamu itu pertolongan pertama untuk mengobati bekas lukanya, namun mengapa rasanya bertambah cedera?
Aku terpenjara oleh seseorang yang telah kuselamatkan perasaannya.
Nyawa terakhirku sudah kandas, gentas, dan tandas.
Aku mati di jeratan tali terakhir pada urat nadi setengah ruas.
wajahmu tersenyum buas,
diseretnya tubuh tanpa nyawa itu kemanapun kakimu mengulas,
kamu dan bangkai perempuan yang kau ikat menjadi ciri khas.
Aku masih butuh bernapas,
bebas.