Ada yang menyusup dari gelapnya malam,
memaksa masuk meski telah kututup rapat dengan pintu dari baja,
siapa yang masih terjaga disaat semuanya masih terpejam?
Badannya membungkuk mempersilahkan, senyumnya merekah lebar bak bunga matahari yang bertemu cahayanya.
Namanya rindu, apakah kamu mengenalinya?
Matanya yang teduh berhasil kuselami, tak pernah berbeda meski sudah lima kali kemarau kulewati.
Ragamu masih bertabur sinar yang sayangnya hanya bisa membias dalam imaji.
Tubuhku didekap kebingungan yang berputar hebat menghabisiku, namun aku masih saja membatu.
Kamu terbang semakin tinggi terbawa angin malam itu, tak membiarkan jarak menjadi lantas singkat untuk kita bertemu.
Karena pada kenyataannya, aku menyadari bahwa aku hanyalah gelap malam hampa yang tidak akan pernah setara dengan teriknya mentari.
Namun jika Tuhan berbaik hati, aku berjanji akan lebih berhati-hati.
Mengasihani,
karena aku telah menemukan sebuah inti,
yang menjadi pusat semesta diri ini,
walau akhirnya harus kembali terhenti.
Dunia kita berbeda,
aku tidak pernah berharap lebih, namun kupastikan soal menanti akulah juaranya.
Meski kutub kita tak lagi berlawanan, setidaknya kami pernah saling menyimpan.
Semoga ia jera dengan kefanaaan, meski keras kepalanya yang lebih mendahului, sebelum tubuhnya berkelana tanpa nyawa selamanya.