Aku lahir di tengah gurun,
di bawah matahari yang meminta ampun,
mungkin karena tugasnya itu lebih dari siapapun.
Lalu sekarang aku tumbuh dengan bising dan racun,
untuk sebuah teriakan pemutus daun telinga kembali melantun,
dengan pecah yang turut serta menuntun,
hingga tiba-tiba sebuah kepalan tangan sudah tiba di tubuh dengan santun.
Pembukanya mungkin dipenuhi oleh rasa heran,
tetapi sekarang aku mengerti bahwa ini mulai menjadi kebiasaan.
Tak lagi kudapati diri bertanya mengenai jawaban.
Tidakkah kamu lihat yang tersisa dariku hanyalah kekeringan?
Kamu tidak buta maupun tuli untuk dapat merasakan… namun sayangnya pilihanmu justru perihal mengacuhkan.
Semula kamu yang sangat yakin begitu tangguh untuk melawan, tetapi mengapa sekarang malah melempar api ke pemukiman?
Kamu yang membuat pilihan,
tetapi mengapa harus aku yang menerima kehancuran?
Bukankah sudah cukup gurun dan racun memelukku tanpa bosan?
Aku memang senang mendapat pertolongan,
tetapi bukan kebinasaanlah yang menjadi akhir dari tujuan.
Namun kamulah yang turut andil dalam berperan,
menambah kayu bakar untuk si raga tanpa tuan,
menari di atas tubuhku yang sudah berguguran,
tetapi senyum di wajahmu masih menjadi jawaban.
Aku sedang menjemput kematian.