Tiga puluh enam ribu detik berlalu,
dua puluh dua ribu langkah mengadu,
dua belas ribu kalimat akhirnya bersatu padu,
namun tokoh utamanya masih abu-abu.
Deretan angka ‘dua’ yang membabi buta,
tak cukup menjelmakan nyata,
karena sejatinya akan selalu ada angka lain yang membuatnya berganti makna.
Malam itu sunyi,
kotanya seakan mati,
namun cahaya kami saling memandangi,
dan bulan-lah yang menjadi hidup kali ini.
Entah mana yang lebih berarti: hadirnya ataukah jalan pulang puluhan kilometer yang menanti.
Lalu sesuatu mengusik pikiranku,
mungkin tentang tujuanmu,
atau lautan yang bermuara di matamu,
atau lengkung halus wajahmu yang meramu,
atau mungkin–tentangku yang masih meragu?
b a h a y a,
dan b a h a g i a,
mereka berlawanan,
namun entah mengapa tanpa perlawanan,
meminta beriringan,
menghancurkan semua yang semula bersebrangan,
meski di ambang perpecahan,
tetapi lihatlah siapa yang malah semakin erat bergenggaman?
katanya,
kita harus waspada,
gencatan senjata,
kabut berbahaya,
ada yang terlupa: mematikan juga rasa,
untuk mengantisipasi semua yang fana,
meskipun lautanmu terlalu indah untuk dijadikan rona belaka.
Hingga nanti pasang menelan ragu,
kupilih tertelan jauh ke dasar itu,
menjadi satu bersama deru,
diam membisu di peluk biru,
terlepas bebas dari bayang kelabu.