Sebutir peluru melayang tepat ke mata Tuhan,
mungkin rasanya hanya seperti gigitan hewan kecil-kecilan,
sebab itu Ia memilih untuk memaafkan.
Rupanya masih ada yang hendak mengujiNya,
mengenai stok kesabaran yang konon tak ada batasnya.
“Apakah mata Tuhan bisa terluka?”
Peluru kedua pun dilayangkan,
mereka bersorak senang karena Sang Pemilik masih bergeming,
pandangannya masih benderang,
usulan peluru selanjutnya kembali dirancang.
Mata-mata Tuhan mulai terus dilemparkan peluru dari perunggu,
hingga seluruh bagiannya mulai terganggu,
namun belum cukup puas untuk membuat mereka membatu.
“Apakah mata Tuhan bisa terluka?”
"Apakah tubuh Tuhan bisa terluka?"
“Apakah hati Tuhan bisa terluka?”
Materi di sekolah kini bukan lagi tentang hitung-hitungan,
melainkan tentang panduan melanggar aturan Tuhan,
bukunya mulai disebarluaskan,
lalu siapa dalang yang harus disalahkan?
“Apakah Tuhan bisa kehabisan kesabaran?”
“Apakah Tuhan bisa mengutuk kami habis-habisan?”
Satu-persatu turut menyumbang kerusakan,
seakan mengolok-olok kebesaran Tuhan,
seakan lupa mereka berdetak karena bantuan Tuhan,
lantas mengapa nadi yang Ia hidupkan malah menciptakan perlawanan?
Tetapi sungguh baiknya Tuhan,
tangannya masih mengulurkan bantuan,
meskipun indra lainnya telah dikotori habis-habisan.