Kami membersamai,
di bawah teriknya matahari,
lalu dilepasnya jaketmu menutupi kepala kami,
ah, selalu seperti ini.
Sekarang gumpalan awan hitam menemani,
hingga jatuhnya rintik air tanpa permisi,
lalu dilepasnya jaketmu (kembali) menutupi kepala kami,
ah, lagi-lagi begini.
Masih teringat jelas bagaimana tawar menawar itu terjadi,
tentang siapa yang lebih penting untuk melindungi diri,
karena kubilang jas hujan milikku lupa kubeli,
lalu kamu menawarkan diri,
jelas pilihan bodoh karena kamulah yang jatuh sakit setelah ini.
Tentang pelukan di atas motor kebanggaanmu,
atau tentangmu yang lekas menggeser arah pendingin mobilmu sebab sejak tadi aku menggerutu,
duh, perias wajahku hancur karena panasnya ibukota kala itu.
Tentang semangkuk bakso yang kita makan berdua di dalam mobilmu,
sebab kami sudah kehabisan bangku,
yang diam-diam menjadi kesukaanku.
Pewangi mobilmu berbeda kali ini,
katamu memang sudah diganti,
ah, ini aroma kesukaanmu—k o p i!
Kami bertukar cerita kali ini,
tentang kegelisahanmu terkait mimpi-mimpi,
wawasanmu yang bertambah setiap hari,
atau perihal negara yang sudah mati.
Namun seperti yang selalu kukatakan,
memang di ibukota ini semuanya hanya teman,
secara sadar aku mengiyakan,
mungkin kamu merasa keberatan?
atau aku yang kelewatan?
Entahlah, Teman, yang kusuka hanyalah warna-warna tambahan,
bukan ikatan, apalagi hubungan.
Kukira kita semua sepakat untuk membunuh semua romansa di tengah hancurnya dunia,
atau aku yang salah dalam mengeja?
atau justru kamu yang salah makna?