Hari ini, kamu manis.

Kemarin, kamu manis.

Dua hari yang lalu, kamu manis.

Minggu lalu, kamu masih manis.

Bagaimana jika tahun depan kamu masih manis?

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Pemberi,

menyempurnakan inderaku untuk melihat manismu setiap hari,

yang dengan senang hati kuamini.

Meski kisahku cukup tragis,

mungkin juga penuh tangis,

bersama mereka yang bengis,

dinaungi tatapannya yang sinis,

lagi-lagi, kamu masih manis.

Kue kering kesukaanku tak lagi butuh pemanis,

semua bagian manisnya direbut olehmu—Si Manis.

Kabarnya pasien di rumah sakit bertambah lagi,

katanya kadar gula di senyumanmu yang harus dikurangi,

kalau begitu izinkanlah aku menjadi pasien abadi,

membusuk bersama manismu dengan dosis tinggi.

Untukmu tak harus berada di Jembatan Ancol seperti rumor yang beredar,

cukup berdirilah di depan kucing kesayanganmu dengan mata berbinar,

meski kemarin tanganmu penuh luka cakar,

tetapi sungguh aku masih penuh debar.

Aku ingin mencintai atas segala lukamu, Manisku.

Aku ingin mewarnai atas segala kelabumu, Manisku.

Aku ingin meresapi atas segala sendumu, Manisku.

Ah, besok aku masih harus menghadapi manismu.