Aku tidak keluar dari dalam perut seseorang,

melainkan berkat jeratan simpul mati dengan banyak tangan-tangan berang,

seluruh tubuhku terlilit tambang,

oksigen mulai enggan untuk berlalu-lalang,

namun katanya sudah masa tenggang.

Neraka pertama yang kuinjak dengan ragu kini sudah mulai ditapaki dengan tenang,

membiarkan jalarannya terus berkembang,

sandangku perlahan menghilang,

mimpi-mimpiku juga terhadang,

namun bensinnya terus dituang,

hingga yang tersisa hanya tulang belulang.

Tangan-tangan itu menjadi dalang,

merekat menyamar menjadi bayang-bayang,

sejak saat itu tak pernah kutemukan kata tenang,

apalagi kata pulang,

karena mereka menempatkanku di medan perang.

Kemudian nyawaku melayang,

tubuhku dibuang sembarang,

di dalam kardus usang,

di bawah jembatan layang.

Hingga jemari baru mulai datang,

diambilnya jasadku dari dalam kardus usang,

seakan aku bukan dari medan perang,

apalagi dari kerumunan orang-orang berang,

justru kutemukan kata tenang dan pulang,

mimpiku kembali benderang,

meski harus kucoba berjalan dari ulang.