1/
Tiga ratus enam puluh empat langkah ke belakang
dan aku melihat diriku kusut dilipat kalender.
Hari-hari cuma angka yang berserakan.
Pancaroba di dadaku adalah musim
yang kau rayakan tiap tahun.
Ibuku bilang kembang api adalah bapak tua yang kepalanya terlilit hutang dan meledak untuk melarikan diri.
Adikku bilang yang berpendaran itu peri-peri dari luar angkasa.
Aku—
sudah khidmat kuronce kembang
untuk tubuh yang saban tahun gersang.
Lima bulan kembangnya mekar,
kau melenggang dan berkata,
“air tidak pernah cocok dengan api, kekasih.”
Kini kita tahu.
Kita ini kembang api.
2/
Ayo kita minta kembang api pada Hephaestus, Kak!
Adikku yang lasak ini belajar pada siapa?
Ibu menanak kesepian,
aku tidak belajar apa-apa.
Bacaan siapa itu dia punya?
Kota ini punya banyak penjual kembang dan api.
Sepuluh ribu tiga,
tidak termasuk kalender tahun depan
dan jasa pembuatan resolusi.
Jalanan malam ini akan menyingkirkan kesedihan
dan kemiskinan
dan rencana yang tak tuntas
dan cinta-cinta yang tak terbalas.
3/
23.47
Hephaestusmu mengabulkan doamu, adikku yang lasak!
Biar aku khusyuk menyaksikan gegap gempita.
Tidak ada lagi romansa.
Motor bebek ini satu-satunya saksi kau minggat
dan meluruhkan diri jadi warna-warna
: merah dari litium
kuning dari natrium
hijau dari barium
kau dan aku dari cium—
yang tidak pernah ada
dan barangkali sudah jadi milik
entah lelaki yang mana.
Biar motor-motor bebek lainnya terpukau.
Bapak penjual kembang dan api,
laki-laki dan perempuan mereka,
ibuku yang masygul di beranda,
adikku dengan angan-angannya—
Biar mereka takjub dan berbisik,
ada yang membakar dirinya berkali-kali…
ada yang membakar dirinya berkali-kali…
(Bekasi, 2019)
#MembacaRonaPigura
#PenakotaxShutterhead