Teriakkan aku—
bukan nabi, bukan penyair rohani—
aku peramal sialan dari 1920-an,
dikirim bukan untuk menenangkan,
tapi menampar segala yang nyaman.
Kau suruh aku bohong,
padahal darahku sendiri mengucur karena kebenaran.
Wajahmu, tuan—
terpampang seperti utang yang tak lunas.
Mau aku? Katakan!
Jangan ajak aku putar-putar
di kota yang lampunya tak pernah padam
lalu tinggalkan aku—jadi nama di chat yang tak kau buka.
Kau kira ini era surat cinta dan roti kering?
Kita dewasa, bukan boneka.
Orang bilang: “pegangan, pegangan.”
Sial, aku tak mau pegangan kalau bukan kamu!
Apa aku harus merangkak ke altarmu,
supaya kau tahu aku tak sekadar lewat?
Tapi kalau begini,
lebih baik aku lenyap—jadi asap, jadi debu,
atau jadi makian di tengah malam.
Cinta!
Kau dewa atau cuma konsep basi?
Rangga, bantu aku ludahi puisi ini.
Tita, lelaki ini… bukan Aditmu—
lebih bangsat.
Hilang tanpa kata,
tanpa salam,
tanpa kubur buat rindu.
Apa itu keputusan yang bijak?
Atau hanya alasan pengecut
agar tak perlu bertanggung jawab
pada hati yang sudah setengah mati?