Aku—
Nia.
Perempuan, katanya.
Harus lembut, harus diam, harus wangi.
Tapi aku bau tembakau,
dan aku bangga.
Asap rokok bukan pelarian,
ini perlawanan.
Setiap isapan adalah peluru kecil
buat dunia yang ingin merapikan aku.
Tuhan tahu,
aku tak suka dipoles.
Aku dicipta untuk terbakar,
bukan dipajang.
Kau pikir aku lemah karena duduk sendiri dengan Marlboro di tangan?
Salah.
Aku sedang berdamai dengan kemarahan,
yang tak bisa kutulis,
yang tak bisa kuceritakan,
kecuali lewat kepulan putih yang lambat-lambat membunuhku dengan cara paling jujur.
Aku Nia—
bukan boneka, bukan gadis dari puisi bunga.
Aku luka yang menyala,
aku bibir yang pahit tapi tetap mencium hidup.
Orang bilang: “berhentilah, kau perempuan.”
Kupikir-pikir,
apa hubungan paru-paruku dengan moralmu?
Aku batuk karena debu jalanan,
bukan karena dosa.
Aku tidak ingin abadi.
Aku ingin terbakar.
Sekali.
Sekencang-kencangnya.
Sampai yang tersisa hanya abu—
yang tetap mengandung nyala
di mata siapa pun yang pernah mencintaiku.