Aku menyetir.
Kamu tidur di sampingku,
dan waktu berjalan mundur di kaca spion.
Kita bilang cuma tiga hari.
Cuma perjalanan.
Cuma mengantar barang.
Tapi kenapa aku merasa sedang mengantar diriku sendiri
menuju hal-hal yang tidak bisa kembali?
Aku tidak jatuh cinta padamu.
Aku jatuh ke dalam diriku sendiri,
yang diam-diam berharap kamu juga tersesat di sana.
Tapi kamu terlalu pandai pulang.
Kita merokok,
membicarakan hidup seperti orang-orang bijak yang belum cukup umur.
Kita tertawa seperti tidak ada yang rusak,
padahal aku sedang retak pelan-pelan,
dan kamu sibuk mencatat lagu-lagu yang cocok untuk ditinggalkan.
Aku ingin mengatakan bahwa aku takut.
Tapi aku laki-laki.
Dan laki-laki, katanya, tidak boleh terlalu merasa.
Jadi aku terus menyetir,
lewat jalan-jalan sepi,
menyimpan degup di saku celana.
Ada yang patah di antara kita,
tapi terlalu halus,
seperti debu yang tak sempat diusir dari dashboard mobil.
Tiga hari katanya cukup.
Tapi sampai hari ini,
perjalanan itu masih tinggal di kepalaku,
menjadi jalan pulang
yang tak pernah selesai kulalui.
(Puisi ini milik Bayu untukku, orang nya sudah meninggal. Jadi kubuat sebagai kenang-kenangan, untuk siapapun yang membaca, tolong bacakan al-fatihah untuk mas Bayu Anggawinandar)