Aku bangun pagi
dan menemukan tubuhku masih utuh,
tapi ada yang hilang dari mataku:
kepercayaan, atau barangkali sisa-sisa semangat
yang kemarin kutaruh di balik asbak.
Kadang aku ingin jadi puisi,
biar bisa dibaca tanpa harus dijelaskan.
Tapi hidup tak seindah sajak Sapardi—
kadang hujan turun,
dan tidak satu pun rinduku dibasahi.
Aku perempuan,
tapi jangan suruh aku pelan.
Kalau cinta itu luka,
biar aku yang berdarah paling duluan.
Aku tak ingin menjadi halaman belakang
dalam cerita siapa pun.
Katanya,
orang kuat itu tidak banyak bicara.
Sial.
Aku sudah diam selama bertahun-tahun
dan dunia tetap tak mendengarku.
Aku ingin mencintai,
tapi tidak dengan cara menunggu.
Aku ingin ditunggu,
tapi tidak dengan cara disimpan.
Aku merokok bukan karena gaya,
tapi karena dunia terlalu bising
dan aku butuh sesuatu yang menghanguskan
selain kenangan.
Di malam yang malas,
aku bicara dengan kursi kosong
dan tanya:
“Apakah aku terlalu keras?
Atau memang dunia terlalu rapuh untuk menerima perempuan sepertiku?”
Lalu suara Chairil datang dari jendela:
“Bakar saja! Hidup cuma sekali,
dan cinta kadang cuma perapian yang pura-pura hangat.”