Empat tahun aku bilang:
Bandung waktu itu sedang sekarat,
sepi seperti nisan yang enggan dikenang.
Langitnya abu-abu,
dan hujan turun seperti anak-anak nakal
yang meludah dari atap rumah tua.
Empat tahun aku bilang:
Aku menemuimu di Buah Batu,
kau masih kuliah,
masih mabuk oleh euforia
dan kecupan panjang waktu di halte yang tak pernah sepi dari ciuman dan kesepian.
Kau datang dengan motor hitammu,
dan dunia tiba-tiba menjadi jalan lurus
tanpa lampu merah, tanpa arah pulang.
Aku peluk kamu—
dan behel birumu yang mencuri kilau senyum
jadi semacam pagar kawat
yang tak bisa aku lewati tanpa terluka.
Ah, kamu manis,
rokokmu menyala seperti doa anak nakal yang tak dikabulkan.
Kau ajarkan aku pada Dago, Dipatiukur,
dan kita sembahyang malam dengan mangkuk dimsum Saparua
yang kita beli hanya karena lapar dan rasa ingin tahu
yang seperti tikus di loteng.
Sate Taichan di Pasupati
lebih panas dari pipiku waktu kamu kecup tiba-tiba.
Bandung dingin, ya,
tapi aku tetap hangat
waktu kamu melingkari tubuhku
di Punclut yang sunyi seperti lemari tua milik nenekmu.
Aku rindu kamu
dalam tawa,
dalam sisa nafas di helm double visor,
dalam kecup yang kau tinggalkan di dahi
sebelum membuang mantanmu ke belakang jok motor.
Aku cium kamu, kamu tahu?
Bau mu masih sama—
seperti hujan pertama yang enggan reda,
seperti lagu lama yang tak pernah bosan diputar,
seperti luka kecil
yang tak pernah mau sembuh karena
terlalu enak untuk digaruk.
Empat tahun aku bilang—
Bandung tak lagi sama.
Tapi kamu?
Masih anak liar yang pernah aku cinta
tanpa perlu kata selamat tinggal.