Lima menit di atas motor,
hujan Bandung mencuci langit dan ingatan.
Aku menggigil, tanpa jaket—
tapi yang paling menusuk adalah dinginmu.
Kau duduk di depanku,
membiarkan punggungmu bicara lebih banyak
daripada mulut yang dulu suka mengeja namaku.
Katamu,
“Biar aku saja yang sakit.
Kau jangan. Nanti kau tak bisa menemuiku lagi.”
Aku tahu maksudmu baik. Tapi baumu—
bau tubuhmu basah—membuatku ingin egois sekali.
Aku peluk kau. Erat. Kencang.
Sampai helm kita saling bergesekan seperti dua kepala keras
yang dulu tak bisa sepakat
selain soal rindu dan tempat makan murah di Dago Atas.
Kau bawa aku ke Punclut.
Bukit Bintang.
Tempat-tempat yang indah—dan aku tahu
kau ingin menyuapiku
kenangan dengan pemandangan yang bisa kutelan diam-diam
tanpa perlu mengulang luka.
Aku mau kamu.
Tapi aku juga tahu,
aku bukan milikmu lagi—dan barangkali,
tak pernah benar-benar jadi.
Aku mau kamu,
tapi aku harus tahan:
seperti api yang disuruh tidur di dalam tubuh basah
dan tak boleh menyala walau gemetar.
Kadang aku menangis.
Tapi bukan karena kau.
Bukan juga karena hujan.
Melainkan karena kenangan
adalah sejenis peluru yang pelan-pelan
membunuh tanpa suara.
Empat tahun lalu aku yang mengakhiri,
tapi lihatlah—aku yang masih mencari-cari wajahmu
di antara wajah-wajah hujan yang berlalu.
Malam-malam tertentu,
aku menangis diam-diam,
bukan karena kau tak kembali,
tapi karena kau masih datang
meski sudah kutinggalkan.
Empat tahun sudah,
dan kau tetap tahu
cara memanggil namaku dalam diam.