Kopi hitam di hadapanku merengek mengharap perhatianku. Sesekali kuaduk hingga isinya meruah. Tak apa, curahannya tak sampai mengotori taplak meja. Tujuanku ke sini bukan untuk menyesap minuman kesukaanku.
Hari ini ia minta bertatap pukul 5. Aku tidak menolak; tidak mau munafik bahwa aku juga merindu. Jarum menit di arlojiku memberitahuku bahwa ia terlambat 28 menit. Cuaca hari ini sedang baik. Mungkin lalu-lintas saja yang sedang tak apik. Alih-alih bersungut dan angkat kaki, aku melempar pandangan ke hal lain untuk mengulur waktu. Aku benar-benar ingin bersua.
Usia kami terpaut jauh. Namun entah apa yang membuat percakapan antara kami mengalir tanpa rintangan. Mungkin aku dapat merasuk ke labirin di dalam dirinya. Mungkin juga sebaliknya.
Tak lama ia datang dengan koper kecil dalam jinjingannya. Peluh mengalir di durjanya. Senyumnya tersugging, peliknya sirna tak kasat mata. Tentunya ia meminta maaf karena datang terlambat. Dan tentunya aku menerima maafnya karena sejujurnya aku tak peduli. Raganya sudah hadir merengkuh jiwaku.
Kami membasuh; saling mengobati rindu yang meradang di kalbu. Mataku sebak dibuatnya. Tak paham bagaimana cara dirinya mencipta teduh di tengah kalut. Tetapi semua ini terbilang semu. Kami berdua tahu, pada akhirnya hari akan terlampau malam, sigaret di atas meja kami akan menjadi nihil, dan Cafe Batavia akan menyudahi harinya.
Malam ini akan sama dengan malam-malam lainnya. Kami akan memberikan kecupan sebagai buah tangan sebelum berparak dan menutup hari. Ia akan berkata bahwa jika mampu ia menggugus bintang lebih lama lagi untuk bersemuka, jika harus mendaga jagad, maka tentu akan ia tunaikan. Namun sama seperti malam-malam lainnya, langkahnya akan bergegas melaju menguntal janggal. Kami berdua tahu, ada bani Hawa yang risau yang sedang menanti raganya kembali.