Matanya tabah menyusun jalan di atas lautan.
Sambil bermandikan cahaya,
perlahan ia gapai tanganku,
mengajakku menatap langit biru.
Matanya setenang gumpalan awan,
sebening laut biru yang ombaknya
memilah dan memola kembali peristiwa
tentang siapa kesedihan siapa kepedihan.
Matanya menunjukkanku sepasang burung camar.
Perlahan menyilangkan warna samar-samar
yang telah lama sekali tak pernah kembali.
Matanya masih tabah membingkai luka tak terobati.
Sambil menggenggam erat tanganku,
bersama tetes air matanya, perlahan ia pergi.