Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahayaNya seperti lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak di sentuh api cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahayaNya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nuur 35).
“MaasyaAllah.” Batinku, tak terhenti hati dan lisanku menyebut AsmaNya. Bibirku seketika bergetar hebat, membaca ayat atas perumpamaan cahaya yang Allah berikan.
“Cahaya di atas cahaya, apakah diri yang hina ini mampu menjadi cahaya yang dimaksud pada ayat itu?.” Hatiku masih bergeming mentadabburi ayat mengenai cahaya di atas cahaya. Tak terasa ada tetesan air hangat yang keluar dari sudut bola mataku hingga air itu menganak sungai dan membasahi kedua pipiku.
03.45 WIB
Kulanjutkan sholat tahajudku dengan sholat hajat dan kututup dengan sholat witir 3 rakaat. Waktuku berlanjut dengan memurojaah hafalan termasuk surat An-Nuur.
***
Gemercik air memberi irama di pagi nan sunyi, berhias langit kelabu tertutup dengan tebalnya kabut putih. Harum dari kuncup mawar yang mekar, memberi aroma roda kehidupan. Tetesan air embun membasahi celah-celah rerumputan, semilir angin menghempas lembut dedaunan. Hijau pepohonanpun diselimuti kabut nan putih. Tapi, fajar belum berani menebarkan senyuman di bumi. Hanya sesekali kicauan burung bersahutan, pertanda sijantan dan sibetina bercengkrama dilangit yang masih kelam.
Hari-hari yang kulewati di pesantren ini tak jauh-jauh dari Al-Qur’an. Memang Allah telah memberiku pintu untuk memasuki sebuah gedung yang di dalamnya hanya mereka, keluarga Allah. Di sinilah statusku berubah, menjadi mahasiswi sekaligus santri tahfidz. Pantas saja jika hanya Al-Qur’an yang selalu menemani, karena dialah yang selalu ada dan selalu mengiringi. Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, sebuah prodi yang kupilih untuk memperdalam ilmu Al-Qur’anku selama di kampus dan pesantrenku.
Pagi itu tak seperti biasa seluruh mahasiswa dikumpulkan oleh Ka. Prodi, di mana mahasiswa ikhwan dan akhwat berada pada satu aula, dengan ikhwan berada di depan dan dilanjut dengan akhwat yang berada di belakang.
“ASMA’ AZ-ZAHRA,” ucap ustadz Ilham berlanjut dengan ekspresi seluruh mahasiswa terkejut dengan mata yang penuh pertanyaan menatapku.
“Ada apa ini?.” Tanyaku batin. Hatiku gusar, fikiranku beradu dengan ritme nafasku yang sedikit tersengal-sengal.
“Silakan berdiri Asma’, setelah rapat para dosen dua hari yang lalu memutuskan bahwa kamu akan mewakili kampus kita untuk mengikuti Seminar untuk mahasiswa Internasional di Jerman minggu depan. Karena kamulah yang mempunyai kelihaian dalam berbahasa yang kami fikir kamu dapat dengan mudah berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa lain dari berbagai belahan dunia.” Sontak seluruh mahasiswa takbir, hatiku bergetar, mataku terbelalak antara percaya atau tidak dengan kabar ini. Karena inilah pertama kalinya aku akan menginjakkan kaki di luar negeri.
“MaasyaAllah Asma’, selamat ya, akhirnya pilihan itu jatuh pada kamu, nisa mah ikut bahagia dengarnya. Semoga aja Nisa bakalan bisa ngikutin jejak kamu.” Ucap temanku, Nisa. Sembari tangannya merangkul pundakku.
***
Hari bertemu bulan dan bulanpun bertemu tahun. 1tahun yang telah kulewati memberikan berjuta pelajaran dan ilmu bagiku untuk menjalani hidup ini. Bahkan aku rela berjauhan dengan kedua orang tuaku demi kebahagiaan mereka kelak, ayah ibuku berada di Kalimantan dan aku sekarang berada di tanah jawa. Suasana pesantren sudah melekat pada diriku, pantas saja sudah satu tahun kulewati semuanya di pesantren.
Tahun ke dua, Tuhan memberikan sebuah kesempatan untukku untuk pergi ke Jerman sebagai perwakilan dari kampus mengikuti seminar mahasiswa internasional. Bu Nadia, dialah seorang dosen pengampu mata kuliah tafsir yang kini menemaniku untuk terbang ke Jerman.
“Asma’ sudah siapkan buat berangkat kan?,” tanyanya padaku pada saat kami berada di bandara Soekarno Hatta.
“In Shaa Allah bu, semoga kita selalu dalam lindunganNya.” Sahutku lembut
20 menit lagi pesawat akan take off menuju ke Jerman, segera kami melakukan checking dan segera mempersiapkan diri.
Jakarta, September 2017
09.00 WIB, pesawat kami sudah take off. Rasa haru itu muncul kembali mengiringi perjalannan ini.
“Bu, jujur ini pertama kalinya Asma’ naik pesawat.” Ujarku terkekeh, bu Nadia membalasnya dengan sesimpul senyuman.
“Bersyukurlah kamu Asma’, Allah masih memberi kesempatan ini”, lanjut beliau lirih dengan jari yang masih lihai menari di atas layar gadgetnya. Ada hal yang membuatku terkejut kembali, tanpa sengaja kulirik layar gadget beliau, tampak di sana foto-foto anak kecil. Kuberanikan untuk bertanya.
“ Itu foto anak bu Nadia?.” Tanyaku penasaran.
“Hmmm....iya tapi mungkin cerita tak seindah yang kau bayangkan.” Sahutnya, seketika aku terdiam membisu, bibirku terasa kaku untuk melanjutkan bertanya.
“Dia namanya Naufal, anak pertama ibu. Namun sekarang ibu nggak bisa lagi bertemu dengannya. Pada umur 3 tahun dia terkena kanker saraf dan akhirnya dia meninggal dunia. Tapi ibu bersyukur masih ada Rafa dan Aisyah yang saat ini menjadi semangat ibu.” Jelas Bu Nadia, sembari menunjukkan foto-foto anaknya padaku. Ada Naufal, Rafa, dan Aisyah yang masih kecil. Tanpa kusadari mata Bu Nadia berkaca-kaca, di situ aku merasa bersalah pada beliau.
“Maaf ya bu, bukan maksud Asma’ membuat ibu menangis seperti ini.”
“Nggak Asma’, itulah takdir Allah. Tapi jujur ibu bangga sama kamu, bagaimana perjuanganmu untuk bisa masuk di pesantren sekaligus kampus, ibu tau kisah kamu, dan bagaimana perasaanmu ketika kamu harus berpisah jarak dengan keluargamu. Ibu bangga nak, ow iya Asma’ sebentar lagi selesai 30 juz ya?”
“Doanya aja bu, semoga diperlancar sama Allah,” kulanjutkan dengan ukiran senyuman.
“Aamiin, itu Rafa anak ke dua ibu juga hampir sama denganmu, dia 1 juz lagi selesai. Dia sekitar 2 tahun di atas kamu.”
“MasyaAllah.” Batinku.
Perjalananku dan Bu Nadia menuju Jerman penuh dengan perbincangan di pesawat. Bahkan terkadang beliau melemparku beberapa ayat untuk dilanjutkan. Maklum, beliau adalah seorang hafidzoh lulusan S1 dan S2 di Timur Tengah.
***
Jerman memberiku sebuah kisah baru. Di mana aku bisa bertemu dengan saudara-saudaraku dari berbagai belahan bumi. Memang, tak semuanya peserta seminar beragama islam, namun di situlah aku bisa belajar toleransi. Tiga hari aku dan Bu Nadia di Jerman, itulah pengalaman yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidup.
20 September 2017
Suasana pesantren kembali padaku. “Alhamdulillah,” Batinku. Alhamdulillah kaki ini masih mampu berpijak di tanah ini, pesantren yang tepat berada di kaki gunung Ciremai, Jawa Barat. Ada suasana tersendiri yang belum pernah saya rasakan di tanah Kalimantan, suasana sejuk yang khas sehingga membuatku merasa nyaman dan selalu rindu dengan pesantren ini. Lebih tepatnya aku adalah seorang mahasiswi rantau dari Kalimantan yang berjuang menuntut ilmu di tanah Jawa. Akhirnya Allah melindungi perjalananku dari sini ke Jerman dan kembali lagi ke sisni.
19.45 WIB
Bintang bertaburan di kelamnya malam, tampak sang ratu malam juga hadir menghias suasana.
Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan bintang-bintang dan Dia juga menjadikan padanya matahari dan bulan yang bersinar (Al-Furqon 61)
Kepalaku tertunduk, memanglah Allah pemilik kerajaan bumi dan langit serta seisinya, dengan memberikan hiasan-hiasan di langit itulah wujud begitu besar kekuasaaNya. Tak terhenti bibirku bergumam menyebut dzat Yang Maha Agung.
“Allah.....Allah.....Allah.” Kusandarkan badanku pada tembok depan masjid di pesantren. Ada ribuan santri berlalu lalang di sekitar masjid, ada pula sebagian mahasiswi yang tampak sedang asyik memurojaah hafalannya, ada juga beberapa dari mereka yang khusyu’ tilawah. Tiba-tiba, kakiku lemas dan kepalaku terasa pusing.
“Ya Allah kenapa ini?” Batinku lirih. Berusaha kunetralkan sakit ini denagn sedikit gerakan-gerakan kecil. Kulanjutkan murojaahku ayat demi ayat dan akhirnyaa genap satu juz telah kulewati, juz 7 menjadi pilihanku untuk mendapat giliran pengulangan waktu itu. Sesekali kulirik kanan kiri, masih tampak teman-teman sedang mengulang-ulang hafalannya pada titik yang berbeda.
Al-Qur’an surat Yaasin:28 kupersiapkan juga untuk setoran ziyadah besok, kuulang dan terus kuulang sehingga aku bisa hafal ayat demi ayat tanpa ada kesalahan. Kepalaku semakin pusing, mataku terasa semakin buram, dan nafasku seketika tak beraturan. Terus saja kupaksakan untuk menyatukan kepingan-kepingan ayat hingga sampai pada surat As-Saff ayat 51.
Braaakkk.......
“Asma’ bangun, kamu kenapa?” teriak beberapa teman menghampiriku yang terkapar di atas sajadah dengan mushaf masih berada pada genggamanku. Dadaku sesak hanya teriakan sama-samar yang masih tertangkap oleh pusat pendengaranku.
“Asma’.....Asma’ bangun!”
***
Gedung putih nan tinggi, bau anyir dan obat-obatan beradu di sana. Tampak manusia-manusia berlalu lalang dengan raut muka yang muram, tampak ada kesedihan di sana. Suara gesekan roda yang melintasi kerasnya lantai ikut memberikan kesan pada gedung putih itu.
Mataku berat sekali dibuka. “Aku di mana?” tanyaku lemah. Retinaku hanya dapat menangkap samar orang-orang di sekelilingku. Bu Nadia, Nisa, Sarah, Bu Maryam, Bu Nyai dan ada satu pemuda di sana yang berada di kursi, entahlah siapa dia.
“Bu Nadia, Asma’ ada di mana?”,
“Asma’, kamu berada di rumah sakit, semalam kamu pingsan dan baru sekarang kamu sadar nak.” Jelas beliau
“Nisa,” Panggilku
“Iya Asma’, ada apa?, mana yang sakit?” sahutnya sedikit khawatir dengan kondisiku.
“Al-Qur’anku di mana?”
“Ada kok, tenang aja, itu tadi Nisa taruh di atas meja.”
“Alhamdulilah, makasih ya,” bernapas lega.
Suasana kembali hening, entahlah apa yang ada pada fikiran-fikiran orang-orang ini.
Tok....tok....
“Selamat pagi, maaf sebentar saya mau meriksa keadaan nona Asma’ dulu ya,” Seorang dokter datang dengan wajah yang membuatku lebih tenang, sontak melihat wajahnya aku teringat dengan sang inspiratorku, iya dia adalah ayah. Senyum dokter itu mirip dengan senyum ayah, bahkan gaya bicaranya juga mirip.
“Alhamdulillah, nona Asma’ sudah siuman, kita sekarang tinggal nunggu hasil scan semalam saja ya,” Jelas dokter.
Beberapa orang berpamitan pulang padaku. Di antaranya Bu Nyai, Nisa dan Sarah. Maklum saja, mereka juga ada kegiatan di pesantren. Sekarang hanya tersisa Bu Nadia, dosenku dan Bu Maryam, muwajjihku, serta pemuda tadi yang aku rasa aku belum pernah lihat sebelumnya.
“Ibu, maaf ya Asma’ sudah ngrepotin,” Ucapku lirih.
“Nggak Asma’, kamu jangan memikirkan hal-hal selain kesembuhan kamu untuk saat ini.” Sahut Bu Maryam sembari mengelus kepalaku.
Dua hari suasana rumah sakit dengan aroma perpaduan anyir dan obat-obatan mengiringiku sepotong hidupku. Tempat yang mahal, namun tak pernah sekalipun diidamkan oleh setiap orang. Dan akhirnya hari ini dokter mengizinkanku untuk pulang ke pesantren ditemani Bu Maryam dan Bu Nadia.
Hari-hariku masih berjalan layaknya hari-hari sebelumnya. Selepas keluar dari rumah sakit, aku berusaha menfokuskan hati dan fikiranku lebih pada surat cinta dari Allah. Mengulang-ulang hafalanku itulah prioritasku saat ini, selain mempelajari materi-materi perkuliahan. Dari sinilah hatiku terasa lebih tenang di saat mentadabburi setiap ayatnya.
“Sungguh indah surat cinta dari Allah”
Bertatap muka dengan muwajjih adalah rutinanku setiap hari untuk menyetorkan hafalan yang telah kupersiapkan, surat Shad ayat 26 adalah akhir hafalan yang kusetorkan pada Bu Maryam
“Asma’ sebentar lagi khatam ya, semoga Allah selalu memudahkanmu.”
“Alhamdulillah bu, Amiin,”
Tiba-tiba rasa pusing, lemas dan sesak menyergapku kembali. Mataku semakin buram dan lebih buram lagi hingga aku kembali tak sadarkan diri.
“Asma’, bangun nak!” Ujar bu Maryam dengan kepanikan yang klimaks.
***
Gedung putih itu kembali menampungku kedua kalinya. Ini bukan pilihanku tapi inilah kehendak Allah. Tak jauh dengan 1 minggu yang lalu, namun saat ini aku juga mengalami mimisan tak kunjung berhenti yang membuat orang-orang di sekitarku panik.
“Dokter sebenarnya apa yang terjadi pada Asma’?” Tanya Bu Nadia penasaran. Lebih tepatnya hari ini adalah pengambilan hasil scan kemarin, namun takdir berkata lain. Sakit itu kembali padaku.
“Silakan ibu ke ruangan saya ya, akan saya jelaskan.” Ucap dokter. Perlahan mataku bisa kubuka sedikit demi sedikit tapi kepalaku masih terasa pusing.
“Nisa, Sarah, Bu Maryam, kalian kok di sini?”
“Kami sangat khawatir dengan keadaanmu Asma’.” ucap Sarah. Masih seperti kejadian yang dulu, ada seorang ikhwan duduk di kursi, sedang aku tak mengenalnya.
“Sarah, itu siapa?” tanyaku sembari menunjuk ke arah pemuda itu.
“Ow, itu Rafa anak Bu Nadia, dia tadi mengantar ibunya untuk menyambangimu ke sini,” aku mengangguk mendengar penjelasan dari Sarah
Tak lama kemudian Bu Nadia datang dengan mata sedikit memerah dan sembab, ada kertas di tangannya.
“Bu Nadia kenapa menangis?”. Tak ada kata yang keluar, beliau diam mematung, air matanya semakin deras. Beliau menjulurkan kertas itu pada Bu Maryam.
“Astaghfirulloh,” Bu Maryam terkrejut, sontak Sarah, Nisa dan Rafa ikut terkejut dan penasran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tangan Bu Maryam lemas dan akhirnya kertas itu jatuh di atas badanku. Sekejap kubuka dan kubaca.
LEUKIMIA
“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un,” bibirku bergetar, sudut mataku sudah melelehkan air mata. Kusebut terus nama Allah.
“Kamu pasti akan sembuh nak,” Ucap Bu Nadia menggenggam tanganku untuk menguatkanku.
“Amiin bu, Asma’ ikhlas dengan ketentuan Allah ini. Tapi Asma’ takut jika usia Asma’ tidak sampai ada 30 juz.” mendengar ucapanku sontak semua orang memelukku, kecuali Rafa yang memang bukan muhrim.
“Kamu bisa nak, nyelesaikan 30 juz nak, atas izin Allah.” Suasana haru menyelimuti kamar ruang mawar nomor 07.
“Ya Allah, Asma’ mohon jangan dulu ambil nyawaku sebelum aku menyelesaikan amanahMu.” Harapku pada Rabbku.
Semakin hari, aku merasa badan ini semakin lemah. Tapi tak menyurutkanku untuk menyelesaikan hafalanku, 2,5 juz lagi. Berbagai obat sudah masuk ke badanku, entahlah apa nanti yang bakalan terjadi, semua aku serahkan padaNya. Khemoteraphy salah satunya, bahkan sampai rambutku rontok dan badanku semakin kurus. Sakit, memang rasanya sakit, namun aku yakin Allah punya rencana terindah untukku. Setiap hari Bu Maryam datang ke sini, untuk menjengukku, mengurusku, dan bahkan untuk menerima setoran hafalanku. Hari demi hari, akhirnya Allah mengizinkan aku untuk menyelesaikan setoran hafalanku, di hari ke tujuh aku di rumah sakit.
Allahu Akbar.....Allahu Akbar.