oranment
play icon
Dakwahku Untuk CintaNya
Cerpen
Kutipan Cerpen Dakwahku Untuk CintaNya
Karya dewyhideaki
Baca selengkapnya di Penakota.id


Perlahan mataku menatap sepasang bola mata wanita parubaya di hadapanku. Ada raut kesedihan yang menyeruak hingga tak sanggup aku mencerna suasana, tanganku hanya mematung mengikuti tubuh. Tidak ada binar di matanya, yang ketemui hanya segurat kesedihan dan buliran air mata yang sebentar lagi akan menetes membasahi kelopak mata wanita itu. Iya, dia adalah ibuku. 

“Faiz, emak bangga sama kamu nak. Emak bangga bisa lihat kamu seperti ini. Namun entah kenapa hati emak berat untuk melepasmu mengikuti alur perjalanan hidupmu.” Suara parau emak memecah keheningan.

“Mak, sejujurnya Faiz hanya ingin membuat emak, bapak dan adik bahagia, karena itu tujuan Faiz saat ini. Meskipun inilah jalan Tuhan yang Faiz rasa bisa membuat emak sedih.” Sahutku sembari memeluk tubuh emak yang kini sudah renta.

Kepergian adalah suatu hal yang kadang membuat hati terluka. Kini sebuah kepergian adalah keniscayaan yang memang harus aku hadapi. Meninggalkan keluarga yang sudah 23 tahun membersamaiku melewati pintasan-pintasan jalan yang penuh dengan lika liku. Tinggal di daerah yang merupakan pusat keramaian membuatku mampu belajar mengenal arti sosialita. Kota Malang, menjadi saksi bagaimana perjalananku meniti setiap langkah kehidupan. Hidup sebagai keluarga yang ekonominya di bawah rata-rata membuatku mampu belajar arti sebuah rupiah.

Aku teringat perjuangan bapak untuk mencari nafkah keluarga, bahkan untuk membiayaiku sekolah. Beliau rela menjadi kuli bangunan yang kesehariannya bergelut dengan panasnya matahari, bergelut dengan beratnya bebatuan, dan panasnya gamping. Saat itu aku belum faham bagaimana rasanya perjuangan menghidupi keluarga, terkhusus membiayaiku sekolah hingga kini aku lulus S2 Management Pendidikan. Terlebih bapak mempunyai prinsip bahwa anak pertama harus sukses agar adik-adiknya mampu mengikuti jejak kakanya. Hal itulah yang membuatku bangkit untuk mampu menjadi orang sukses dan membiayai adik-adikku hingga sukses melebihiku.

****


   

Malang, Agustus 2006

   Matahari bersinar lebih cerah di banding hari kemarin, angin berhembus pelan namun mampu menyejukkan setiap raga, tampak dedaunan melambai-lambai pada tangakainya. Hatiku kini menelisik makna yang selama ini aku selalu pertanyakan.

    “Tuhankan durhakakah aku meninggalkan orang tua yang telah menyayangi dan membesarkanku. Akankah dakwah yang kulalui ini berujung pada titik kedurhakaan?” Batinku bertanya. 

   Bismillah dengan menyebut nama Allah yang penuh dengan jawaban-jawaban hati ini, kuputuskan untuk menerima panggilan mengajar di salah satu sekolah di Padang. Aku tau perjalanan dakwah ini tidak selalu mudah, aku tau Padang merupakan penduduk mayoritas Kristen. Namun aku yakin dengan Allah atas jalan ini.

   Waktu terasa bergulir cepat, kemarin aku belum bisa mendapat izin dari keluarga untuk pergi ke Padang, terlebih ibu yang selalu menghalangiku untuk pergi jauh dari keluarga. Namun aku adalah anak pertama yang memang harus mampu menjadi tulang punggung keluarga, mengetahui bapak kini sudah renta bahkan aku tau selama ini beliau menahan penyakit yang menyerangnya, paru-paru.

   Suasana pagi yang terasa berbeda dengan suasana-suasana pagi yang selalu kulewati bersama keluarga di gubuk sederhana, berdiri di atas tanah berukuran 11X11 M. di sanalah bapak dan emak membangunnya untuk keluarga kecil kami.

“ Bapak, Emak maafkan Faiz jika hari ini Faiz membuat kalian meneteskan air mata. Faiz sayang pada kalian.” Kupeluk erat tubuh mereka, inilah hal hal aku takutkan. Ketika aku akan berpisah dengan mereka.

“Hildan, mas nitip bapak sama ibuk di sini. Hildan juga harus jaga Safa, kan sekarang Hildan jadi anak paling besar di rumah. Mas janji akan biayai kamu dan Shafa sekolah, kamu harus belajar yang rajin biar jadi orang sukses.” Ucapku pada adik laki-laki yang kini sudah menginjak bangku SMA, sembari kurangkul dia.

“Buat adik mas yang paling cantik, gak boleh suka nangis ya…Shafa harus rajin sekolah, belajar dan ngajinya. Kan kemarin Shafa bilang sama mas kalau pengen jadi dokter yang hafidzoh, jadi Shafa harus semangat terus.” Kupeluk erat Shafa, yang selama ini selalu membuatku bahagia walau lelah.

“Mas Faiz kapan pulangnya?” Tanya Shafa padaku.

“ Tenang aja dek, mas nanti bakalan pulang kok kalau sudah selesai urusannya.” Sahutku pelan sembari tersenyum manis padanya.

 “Ya udah. Faiz berangkat dulu. Faiz akan selalu merindukan kalian, nanti Faiz juga bakalan sering-sering telfon kok.”

“Iya nak, doa emak dan bapak akan selalu menyertaimu dan kesuksesanmu.” 

            ****

Padang, 2006

Dakwah ini, kumulai dari Malang dan kini Padang adalah central dakwahku. Menghadapi masyarakat yang berbeda agama adalah PR terbesarku, bagaimana dakwah ini bisa berjalan dengan menggandeng masyarakat untuk bersama dalam satu barisan, yaitu islam. Mengajar di salah satu sekolah islam di antara agama-agama non islam adalah hal yang mulia menurutku. Perjuangan ini memang melelahkan namun jika dijalani dengan rasa cinta maka CintaNyalah yang akan didapat. 

Berdiam dan berdakwah di daerah orang adalah pilihanku untuk mendapat RidhoNya. Meninggalkan keluarga, bahkan meninggalkan masa-masa bisa berkumpul dengan teman. Namun aku, Muhammad Faiz Syahida bukanlah pemuda yang hanya bisa diam melihat agama dan negaranya semakin dikikis oleh orang-orang yang ingin menguasainya. 

Suatu hari, hal yang sangat mengejutkan bagiku, seorang anak kecil laki-laki bertanya padaku.

“Abang, kenapa lebih memilih tinggal di sini. Tempat yang mungkin tak seindah di rumah abang?” Tanya anak itu padaku, Khafa namanya.

“Alasannya, abang ingin kita bareng-bareng nanti ke surga.” Jawabku singkat pada anak kecil itu.

“Tapi kan kita-kita banyak yang masih gak sholat gak mau ngaji, terus mau ke surganya gimana.?”

“Abang yakin seiring berjalannya waktu Allah akan memberikan hidayah pada mereka, dengan kita selalu mendoakannya. Selain itu abang ingin anak-anak di sini pada pintar biar tidak mudah untuk dipintari, seperti itu Khafa” Lanjutku.

“Ooo…iya bang.” Jawabnya dengan ekspresi mulut yang berbentuk huruf O.

****

   Hari terus bergulir dan bertemu dengan bulan. Bulanpun terus bergulir hingga bertemu dengan tahun.tak terasa 5 tahun perjuangan dan dakwah ini di Padang kujalani. 

“ Faiz, kamu adalah orang hebat yang pernah bapak jumpai. Setelah beberapa kali bapak gagal mencari pengajar di sekolah ini, dan bapak akhirnya menemukan orang yang tepat, yaitu kamu. Bapak salut dengan semangat dakwahmu. Makasih nak atas perjuanganmu di sini. Sebenarnya bapak berat untuk melepaskanmu dari sekolah sini, namun bapak juga tidak ingin menghalangi kerinduanmu pada keluarga yang telah melahirkanmu menjadi orang hebat seperti ini. Terlebih yang sangat bapak banggakan adalah murid-murid kamu kini bisa menggantikan posisi kamu atas segala didikan dan ilmu yang kau beri pada mereka.” Tutur kepala sekolah tempatku mengajar.

Pagi itu adalah terakhir aku berada di Padang setelah 5 tahun aku tidak kunjung ke Malang.

“ Emak, Bapak, Hildan, Shafa, mas kangen sama kalian semua.” Batinku, senang akan kembaliku ke Malang.

Aku tidak pernah meminta Allah untuk membuatku menjadi orang yang dikagumi, namun aku selalu meminta padanya menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dan orang selalu dicintaiNya. Dengan itu CintaNya adalah tujuan utama dakwah ini.



Kuningan, 2019

@dewy_hideaki














 


calendar
29 Mar 2020 21:51
view
69
wisataliterasi
Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig