Jalan Pulang; Bagi yang Hilang
Puisi
Kutipan Puisi Jalan Pulang; Bagi yang Hilang
Karya egacharlluvi
Baca selengkapnya di Penakota.id

Prolog

Perjalanan penyair di era tahun 80'n dan 90'n; menuju kepulangan yang di tarik-ulur oleh takdir.


I

Dik, kutulis surat cinta untukmu;

Bertintakan darah, berilustrasikan lebam—yang diromantisasikan kejutan kursi listrik.


kau tau, hanya aku dan sejenisku saja yang mampu mengungkapkan cinta melalui rasa sakit di sekujur tubuh.


Ya .. walaupun balasanmu serupa dinding selku, sebab; moksaku melalui kematian ke kematian lainnya.


Kuyakin kau akan sepaham denganku.

Serupa kode morse yang kita janjikan seusai bersegama, bukan?


II

Dik, kulukis lebam yang dalam pada surat untukmu ini, agar kau mampu memoksakan rindu melalui sebelah mataku ke ranjang yang lainnya.


Bajingan ...


Kuasuh anjing dalam lidah yang asih bukan?

sebab kau tak pernah perduli, kataku.

kau tau, merajukku hanya karna kecemburuan terhadap waktu.


Sebab waktu; bisa terus mencumbu umurmu.

Sedang aku, menahan liur dan di musuhi waktu

Meski mati ribuan kali, aku berumur panjang dik.

Tak pernah bisa sepertimu.


Tidak apa-apa dik,

Setidaknya, siapa tahu kau akan menemukanku di kolong ranjang empuk lainnya.


Sungguh bajingan ...


III

Dik, kuingin terus mencurahkan kepedihanku padamu;


Ada kala lidahku terpancung jeruji besi,

Lalu kuhadiahkan untukmu melalui sepucuk surat kematian.


Dengan harapan; dapat kau tukarkan di pos-pos polisi terdekat—sebagai tiketmu, bermoksa ke tubuh yang lebih kekar dariku.


Namun, aku lupa kau tak suka pola tegap tentara.

Ya .. hanya tentara yang tegap dan kekar.


Dik, berapakah umurmu sekarang?


Maapkan bila aku lupa, sebab sekarang aku hanya mampu menghitung umurmu—sampai jari ketujuh saja.

beberapanya hilang bersama sejahwatku.


Alasannya sepele, hanya karna aku tak mau menjawab yang tak ingin kujawab.


Di negara ini, jari dan napas bisa hilang hanya karna suara; suara kecil, suara lantang, atau tidak bersuara.


Dan, karna akhir- akhir ini aku mendengar berita tentangmu; yang menabuh-tabukan genderang di tengah-tengah hari dalam seminggu

pada suaka kematian untuk prajurit sepertiku.


Lucunya, karna itu telingaku di potong.


IV

Andai tubuhku satu persatu akhirnya pulang.

Tak apalah jika aku menjadi kekar?

meski katamu kau tak suka perawakan seorang prajurit


Apa bedanya?


Akupun hidup, mati, dan terlahir kembali dalam persembahan anggana yudha.

hanya bedanya aku penyembah dosa mereka penyembah penguasa.

Dan maut; hanya sedekamili antara syaraf dan nadiku.


Itu sebabnya sekarang aku tetap mampu berperang walau jemariku tinggal hitungan minggu.


V

Dik, kau tau kenapa hanya surat yang dapat kukirimkan?

bukan amplop berisi uang atau kalung berliontin permata.


Sebab pekerjaanku ini hanya ngamen;

Ngamen di depan gedung kura-kura,

Atau ngamen di depan istana raja.

Tapi aku tak pernah meminta bayaran.

Sebab honorku di bayar lunas ketika suaraku kelak bisa sampai ketelinga bapak yang terhormat.


Sebab sekarang, suaraku tak lagi berpita, kini ia menjelma senjata yang hanya mengarah pada sudut-sudut angkara.


Tak lagi bisa kugunakan untuk merayumu.

Sebab suaraku kini terasah setajam peluru.


Ia tak lagi parlente untukmu yang anggun

Ia tak lagi romantis untukmu yang manis


Kau lihat, apa bedanya aku dan tentara.

Mereka teriak angkat senjata

Sedang aku berteriak mematik pena


Hanya saja mereka pulang membawa honor dan aku pulang menjadi mayat terikat yang hanya berkolor.

Alamat kepulanganku jauh di dasar laut, atau membusuk di sumur.

Bahkan malaikat maut tak paham bahwa aku sedang dalam penerbangan interlokal, izrail saja bisa sembarang sambar di udara.


Tahukah kau dik?

Bahkan beberapa temanku terlampau jauh melanglang di anggana yudha ini tanpa pernah mengirim surat atau sekadar menengok sanak saudaranya.


Jika kau kubelai melalui surat kematian,

Dan kurayu dengan kabar pilu dari jagang pesakitan.


Anak-anak mereka di besarkan dengan nafkah dari hutang kerinduan dan teka-teki.


Kuharap kau mau berbesar hati atas perbandingan hidup ini.


Dik, melalui berita tentang sebuah jagang pesakitan.

Tak hentinya aku meminta maaf; sebab hidup yang tak hanya hidup tak lagi mampu kujanjikan.


VI

Akhirnya, tiket yang kukirimkan membawa sebuah balasan.


Pula, melalui seutas balasan darimu hari ini.

Cukuplah untuk kutukarkan pada sipir-sipir terdekat sebagai tiket kepulanganku, yah ... Ditambahkan beberapa batang rokok hasilku berjudi.


Lalu aku;

Pulang dari maut anggana yudaku

Pulang dari kematian demi kematian 

Yang telah lama menjerujiku.


Hanya saja, aku pulang bermoksakan kata-kata. Yang kuuntai pada senapan kayu dari pita suaraku.


Andai saja kita bisa saling bertemu pada perjalanan pulang ini.

Namun, sepertinya kendaraan kita berbeda jurusan;

Kau pulang mengendarai rindu, sedang aku pulang—mengendarai sajak yang mengamuk di kepalan para pemuda hari ini.


Oh, benar ... Bajingan nian hidup kasihku.



Jambi, 2023


Karya ditulis sebagai balasan dari sebuah puisi yang berjudul "Di Maut Anggana Yudha" dalam buku sehimpun sajak yang berjudul "Mengukur Tualang Tekukur" karya; Ega Charlluvi.

12 Nov 2023 18:56
73
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: