Kutipan Puisi
Terpangkas
Karya
fadlilahnida
Baca selengkapnya di
Penakota.id
Danau. Pelataran. Perpustakaan.
Surau. Senja. Purnama.
Stasiun. Kereta. Penjual roti kita.
Rumput. Dermaga. Dilema percaya.
Untuk kokohnya diri, kaugunakan tiang besi.
Untuk segala situasi, termasuk kepalamu itu.
Pada hari-hari lain sama, kini beda lain cerita.
Ada yang meluluh.
Seolah sebuah perahu berlayar, lepas dari dermaga harapan.
Usahamu, jerih tergopoh dalam belai angin sore.
Hei, ucapanmu bukan perkara sepele!
"Apa lagi yang belum terjawab? Tanyakan saja. Saya sedang dalam posisi meyakinkanmu."
Ujar saat bangkitmu menggema.
Mulailah banyak pikiran berlendotan,
seperti beberapa anak dalam buaian Bapak yang sama-sama kita saksikan.
Ribu aksara tanya bertengger dalam bait-bait.
Aku ragu, jika terujar bisa jadi akan pahit.
Senja kemudian padam, padahal kita masih belum selesai.
"Beri aku waktu dua sampai tiga hari ke depan..." kataku, tanganmu melambai.
Duhai, selesailah puluhan kisah di balik tirai tangis malam.
Hanya beberapa pekan setelah temu di pinggir danau.
Beribu langkah setelah berjarak dari surau kampus kita.
Beberapa jeda usai meninggalkan stasiun yang sama.
Hitungan minggu saja setelah rumput yang dulu sama-sama kita injak itu beberapa kali telah dipangkas, sama halnya tentang perasaan,
yang resmi,
kini terpangkas.
Unduh teks untuk IG story