Ketika dirimu menyegaja untuk membuat serak jalan oleh kenangan yang tergugur.
Saat basah mata tak mampu terserap oleh sapu tangan, hingga akhirnya tumpah menjadi tangis yang memedihkan retak sukma.
Bagaimanapun, air mata tak mampu menjadi benang pemersatu sebuah rasa yang telah terkoyak.
Jejak yang melintas dari dua pulau menjadi saksi bahwa di setiap pergantian matahari ada seseorang yang menanti.
Meski hingga detik ini, sudah sekian kali darinya yang menepi, tak sanggup membersamai. Menjejak luka, lantas pergi tak kembali. Atau jua singgah sebentar hanya untuk menebar bunga-bunga yang ia pungut dari atas kubur, sementara ketika sudah ada mawar yang mekar, ia berlari.
Kepadamu yang selalu rindu pulang, memang tidak ada alasan pasti yang sedang kaurindukan. Tak ada pula yang memberitakan penantian secerah luna di tengah bulan. Dirimu pulang hanya karena percaya. Bahwa ada beberapa pasang mata yang berkaca-kaca saat peluk menelungkup, lalu terpaksa menjadi biasa hanya karena dirinya tak terlalu berani untuk mengungkapkan kerinduan yang sebenarnya.