Di tempat pengisian bahan bakar, di bawah sorotan lampu merah, pasti kautemukan seorang gadis. Kalau tidak ungu, bajunya biru. Kalau tidak menenteng kudapan, ia menangkup tisu.
Orangorang lelah bekerja. Setiap hari berjejalan di ibukota. Alasannya sederhana, karena setiap orang beraktivitas pasti bermetabolisme. Mereka mengeluarkan keringat. Mereka butuh tisu. Jadi si gadis menjual tisu.
Begitulah ia habiskan waktu seperempat abadnya, mulai terbit fajar hingga timbul lunar. Berkeping logam dikumpulnya, dikeluarkan saat lapar. Bersiklus. Terus berulang. Sampai suatu masa, sandangan "gadis" sudah tak sepadan. Kini, kita panggil ia: Nenek Penjual Tisu.