Penari
Cerpen
Kutipan Cerpen Penari
Karya fajrinyuristian
Baca selengkapnya di Penakota.id
Pesta di balai desa semalam telah usai. Yang tersisa sekarang tinggal rasa letih, juga pegal-pegal yang mendera sekujur tubuh . Darah yang mengalir dalam sendi-sendi pun bak tersendat, tidak mengalir deras dan lancar. Ingatan akan kejadian semalam itu juga masih terbayang sampai pagi ini. Insiden kecil yang membuat balai desa semalam menjadi ramai dan sedikit kacau. Padahal itu cuma disebabkan oleh masalah sepele. Hanya perang mulut antara dua warga yang dipengaruhi sedikit oleh minuman keras. Usut punya usut, ternyata masing-masing dari mereka adalah para simpatisan dari dua partai yang berbeda. Mulanya memang mereka turut meramaikan pesta yang diadakan oleh balai desa itu. Mereka juga masuk kedalam gerombolan warga yang tengah menari mengikuti irama gendang, juga terhipnotis oleh tubuhku yang semakin molek ketika sedang menari diatas panggung. Namun sebelum aku mengakhiri setiap gerakan tari nan gemulai itu, terjadi keributan dari arah penonton. Aksi saling dorong-mendorong tak terelakkan. Seketika suasana pun berubah menjadi kekacauan. Diriku yang tengah menari pun tidak dihiraukan lagi. Kini para warga serasa malah terhipnotis oleh dua orang simpatisan partai yang perang mulut itu. Semua yang hadir dalam pesta, kini larut dalam keributan. Hantam kiri-hantam kanan, sikut kiri-sikut kanan. Melihat kondisi yang sudah tak terkendali, aku memilih untuk menghentikan tarianku dan pergi berlari dari atas panggung menuju kedalam balai desa, untuk mengambil barang-barang bawaanku. Tanpa berpamitan kepada siapapun dalam balai desa itu, aku bergegas pulang ke rumah dengan berjalan terburu-buru serasa dihantui oleh bayang-bayang jahat yang mengikutiku di belakang. Aku memilih jalan keluar lain dari balai desa agar tidak masuk dalam keributan. Untungnya di balai desa itu ada sebuah pintu samping yang menghubungkannya langsung dengan jalanan. Aku pun berhasil keluar dari tempat itu. Dari kejauhan, aku lihat keributan itu masih berlangsung, malah semakin menjadi-jadi. Memang sedari tadi pihak keamanan yang berjaga sangatlah minim. Mungkin mereka tak mampu mencegah emosi yang tumpah berlebihan dari para warganya.

Seketika, aku beranjak dari tempat itu dengan menggunakan angkutan umum. Entah itu hari keberuntunganku atau bukan, karena masih ada angkutan umum ketika malam sudah sampai puncaknya. Waktu pada saat itu menunjukkan pukul 23.10 WIB. Mau dibilang beruntung juga, tapi aku baru saja merasakan kejadian yang sedikit membuat batinku terguncang. Di dalam perjalanan itu aku masih termangu membayangi kejadian tadi. Hanya satu yang aku pikirkan, entah kenapa politik itu sangatlah kejam. Aku sering mendengar kabar-kabar tentang politik di televisi atau dari teman-temanku. Semuanya mengabarkan kekacauan akan politik. Entahlah, aku serasa tidak mau terlalu ambil pusing dengan hal satu ini. Hanya membuat diriku ini semakin tak menyukai semua yang berbau politik.

Aku bangun sedikit terlambat. Dari jendela, matahari sudah ambil bagian dari bumi ini. Sinar hangatnya masuk melalui celah-celah jendela dalam kamarku. Diluar burung-burung mulai bersemangat menghibur pagi yang cerah ini. Gerak daun-daun yang tertiup anginlah yang menjadi pengiring musiknya. Mau tidak mau aku harus segera beranjak dari tempat tidurku, memberi tepuk tangan atas sajian bumi yang megah ini. Tapi hari itu masih terasa berat untuk mulai membuka mata secara penuh. Untunglah aku sudah tamat dari Sekolah Menengah Atas 2 tahun lalu. Jadi sudah tidak harus terburu-buru ketika pagi datang. Ya, setelah lulus itulah aku memutuskan untuk tidak melajutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dan lebih memilih menjadi penari desa. Itu sudah menjadi impianku sewaktu kecil. Dulu aku sering melihat tetanggaku menari dalam suatu acara-acara tertentu. Dari atas panggung aku melihat gemulai gerakannya semakin menambah kecantikan dan kemolekannya itu. Bahkan, boleh dibilang bisa terlihat lebih awet muda. Disamping itu, bayaran yang diterima setelah menari dalam tiap acaranya pun boleh terbilang menggiurkan dan cukup untuk mengisi perut setiap harinya. Karena itulah aku tertarik ingin menjadi penari seperti para tetanggaku. Ditambah dengan parasku yang cantik dan tubuhku yang menggeliat diatas rata-rata, itu semakin memperkuat aku untuk menjadi seorang penari yang sempurna. Dari kecilpun aku mulai mempelajari segala macam tarian. Aku terus berlatih sekuat mungkin agar kelak aku menjadi seorang penari yang diidam-idamkan.

Dan akhirnya kini aku bisa menikmati semua itu. Walau ada sedikit yang menghalangi aku dalam pilihan hidupku ini. Ya, Ayahku sangatlah tidak setuju anaknya menjadi seorang penari. Ia hanya takut anaknya kenapa-kenapa dan menjadi bahan mainan oleh orang-orang diluar sana.

“Aku bisa menjaga diriku sendiri yah, aku sudah dewasa dan aku bisa memilih jalur hidupku sendiri yah !”

Aku menangis diatas tempat tidur setelah tamparan tangan Ayah mendarat manis di pipiku.

“Lasmi, sudah berapa kali Ayah bilang. Ayah tetap tidak mau dan tidak setuju kalau kamu jadi penari. Apa-apaan kamu menjual tubuhmu itu untuk dilihat orang banyak diluar sana !”

Geramnya Ayah semakin diperkuat oleh bola matanya yang membesar menuju ke arah mataku.

Setelah kejadian yang membuat hatiku teriris itu, Ayah masih tidak mengizinkan aku untuk menari. Dan tamparannya itu semakin memperjelas alasannya. Bahkan sampai sekarang aku masih sembunyi-sembunyi jika ada panggilan menari diluar. Atau bahkan sampai berbohong kepada Ayahku untuk mendapatkan izin keluar dari rumah.

ooooo

Pintu kamarku terbuka secara perlahan. Kulihat Ayah yang masuk kedalam kamarku itu. Aku siap jika harus menerima tamparan untuk yang kesekian kalinya lagi. Karena apa yang aku pilih dan sudah menjadi jalan hidupku pasti akan ada halangannya. Dan jika ini resiko yang harus kuterima setiap hari, aku sungguhlah siap. Walau batin sangat teriris. Bagaimana tidak, ini adalah Ayahku sendiri. Akupun tak kuasa untuk melawannya. Karena mau bagaimanapun dia adalah orangtua aku sendiri. Pintu semakin sempurna terbuka, dan sosok tegak Ayah semakin jelas terlihat. Tapi ada yang beda dari Ayah. Wajahnya sama sekali tak menampakkan kemarahan ataupun mata bolanya yang membesar. Kali ini wajah Ayah sangatlah damai dan senyum meronalah yang muncul. Bahkan Ayah menyampaikan salam selamat pagi kepada anaknya ini. Sungguh hal yang diluar dugaan. Berbeda jauh apa yang tadi aku pikirkan, dan berbanding terbalik dengan sikap Ayah yang biasanya dilakukan kepadaku. Ayah menghampiriku dan duduk diatas kasurku yang sedikit berantakan, bersebalahan denganku. Sungguh ada yang tidak beres, kataku demikian. Ada apakah gerangan dengan ayahku kali ini. Ia membelai rambutku, seperti ia membelaiku ketika aku masih kanak dulu. Ketika aku harus sudah ditinggal kasih sayang Ibu untuk selamanya. Hanya Ayah yang aku punya saat itu.

“Kapan kau menari lagi Las?”

Pertanyaan Ayah yang membuatku sangat tercengang.

“Aku belum tau Yah, sampai saat ini belum ada acara yang memanggilku.”

Aku menjawabnya dengan tergagap dan ragu. Takut jika Ayah akan marah besar nantinya. Dan memang ternyata ada yang berbeda dari Ayah kali ini. Tak sedikitpun kegeraman muncul dari Ayah.

“Oh, kalau begitu baguslah Las.”

“Bagus? Maksud Ayah apa? Lasmi tidak mengerti. Ayah tidak marah? Lasmi semalam habis menari di balai desa Yah. Lasmi telah berbohong lagi kepada Ayah. Lasmi minta maaf Yah!”

Aku menangis menutup mata karena merasa malu dan bersalah kepada Ayah.

“Sudahlah lupakan saja hal itu. Ayah sadar itu memang sudah menjadi pilihan hidupmu. Nah sekarang Ayah minta kamu nanti malam datang ke alamat ini. Ayah yang mengundang kamu nanti malam tampil menari dalam acara tersebut. Jangan sampai tidak datang ya Las, Ayah tunggu!”

Ayah langsung pergi dan menutup pintu kamarku. Akupun semakin bingung dengan sikap Ayah yang seperti itu. Hatiku terus bertanya-tanya. Selembar kertas bertuliskan sebuah alamat inilah yang akan menjadi jawabannya nanti. Hanya ini yang aku pegang. Mungkin Ayah memang telah terbuka hatinya untuk mengizinkan aku untuk menari, dan lebih terbuka oleh pilhan hidup anaknya ini. Baiklah aku tidak mau mengecawakan Ayah. Aku akan datang ke tempat itu nanti malam. Walau kegamangan masih ada dalam benakku. Apa yang akan terjadi disana nanti? Seraya menjadi pertanyaan inti.

Malam akhirnya sampai. Bulan dan bintang pun telah memadu kasih di peraduan sana. Sinarannya sama sekali membuat malam ini tidak gelap. Udara dingin memaksa masuk kedalam celah-celah tubuhku. Utunglah aku memakai jaket yang dulu dibelikan Ayah. Tidak lupa aku membawa barang-barang bawaanku untuk menari nanti. Jelas dandananku sangatlah sempurna, untuk mengundang decak kagum dari Ayahku sendiri. Aku ingin tampil cantik dan sempurna didepan Ayahku sendiri. Inilah pembuktianku bahwa aku bisa.

Aku sampai di lokasi. Alamat yang diberikan Ayah pada secarik kertas itu jelas membuat anaknya ini tidak terlalu susah menemukan dirinya yang sudah lebih dulu pergi kesitu. Tempat itu seperti rumah besar yang sudah dihiasi dengan ornamen warna yang selaras. Mungkin itu adalah pendukung acara tersebut. Juga ditambah sudah terpampang sebuah panggung megah dihalamannya. Sungguhkah aku akan tampil di panggung semegah itu? Suasana pun sudah tampak ramai oleh orang-orang yang memakai baju selaras dan seragam. Sosok tinggi dan tegap sudah menungguku didepan pagar. Itu Ayahku.

“Akhirnya kau datang juga Las. Orang-orang sudah menunggumu sedari tadi” Ucapnya menyambutku.

Tanpa membalas ucapan sang Ayah aku langsung mengikutinya ke dalam rumah tersebut. Di dalamnya aku banyak melihat foto-foto sesorang yang sering aku lihat di televisi, khususnya di acara berita-berita politik. Setelah mengganti pakaianku dengan kostum penari, aku langsung naik keatas panggung dan menghibur acara tersebut. Saat menari, aku melihat Ayah berdiri di sisi panggung, tengah mengobrol dengan seseorang yang aku lihat di foto tadi. Siapakah dia? Aku bertanya-tanya saat menari. Hingga konsentrasiku sedikit hilang dan hampuir terpeleset. Untunglah orang-orang yang menontonku hanya fokus pada parasku yang cantik. Tiba-tiba Ayah menghentikan tarianku sejenak dan mengambil alih panggung itu, lalu berbicara di depan khalayak umum yang datang saat itu. Aku pun agak meminggir ke belakang panggung sebentar. Mengikuti ucapan Ayah yang dilontarkan kepada penonton tersebut.

“Hadirin sekalian, para teman-teman sejawatku. Hari ini kita berkumpul untuk satu nama. Untuk keberhasilan partai kita nantinya. Untuk itu silahkan nikmati suguhan yang telah kami berikan. Silahkan nikmati malam ini sepuas kalian, senyaman kalian. Dan kalian boleh lakukan apa saja terhadap suguhan kami ini. Asalkan nantinya kalian bisa menjamin partai kita mencapai keberhasilan dan sukses!”

Aku sangat kaget mendengar ucapan Ayah barusan. Aku baru sadar sekarang. Ternyata Ayah adalah seorang simpatisan dan orang kepercayaan dari partai ini. Dan orang tadi yang berbicara dengan Ayah dan juga ada di foto itu adalah seorang Caleg dari partai tersebut. Dan aku sekarang mejadi bahan permainan dari mereka. Bahkan oleh Ayahku sendiri.

“Ayah! Aku semakin membenci politik.”
20 Feb 2018 16:31
180
Tangerang, Kota Tangerang, Banten
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: