Hari sudah hampir subuh. Tetapi, Din memilih duduk di depan lilin yang baru saja ia nyalakan. Api yang bergoyang itu menyinari seluruh wajah Din. Kantung matanya penuh oleh beban kesehariannya. Namun binar matanya sama terang dengan lilin yang ada di hadapannya. Din sama sekali tidak memperlihatkan rasa lelah dari wajahnya yang kumal itu.
"Baiklah, Kak malam ini, aku yang akan bermain bayangan ya! Kosong.. kosong..." Din mulai beraksi. Bak seorang tukang sulap ia menunjukan tangan ke penontonnya. Dengan tangan kosong Din membuat berbagai bayangan hewan. Kelinci, kura-kura, gajah, ia memainkan sebuah lakon yang dulu pernah dimaikan juga oleh kakaknya di beberapa malam untuk mengusir sepi.
Tak sampai di situ, Din juga membuat suara suara yang seakan itu adalah suara yang dikeluarkan dari bayangan yang ia tampilkan. Ia terus melakukan pertunjukan itu, kakaknya masih tersenyum, menontonnya dengan tenang.
Angin menggoyangkan api Din. Gubuknya yang terbalut oleh seng, bergemuruh kencang. Sesaat, azan subuh sampai di telinganya. Sudah saatnya pergi, pikir Din.
"Baiklah, Kak, aku berangkat lagi dulu ya. Seperti katamu dulu, di Kota ini, banyak sampah yang bisa jadi nasi!"
Din memasukan foto kakaknya ke kantung celana. Diambilnya karung berisi botol bekas, yang semalam ia kumpulkan bersama teman-teman pemulung yang sepantaran dengannya.
Meski kakaknya tak lagi di sisinya. Tapi bayangan juga kenangan yang pernah dilihat dan tunjukkan kakaknya dulu takkan pernah hilang. Api lilin Din memanglah mati. Namun tidak, dengan api yang ada di dalam matanya.
2021