Judul Buku: Surat Kopi
Pengarang: Joko Pinurbo
Genre: Puisi
Penerbit Grasindo
Cetakan: Ketiga
Tahun: 2019
ISBN: 97860-2051-5823
Jumlah Halaman: xxi + 180
BAGIKU, membaca (tentunya juga dengan memahami secara perlahan) puisi-puisi Pakde Jokpin yang berada di dalam buku ini adalah salah satu cara untuk mengetahui bahwa ketidakpercayadirian merupakan bagian dalam proses mengenal dan berdamai dengan diri sendiri.
Aku selalu menyukai puisi-puisi Pakde Jokpin. Imaji dan citraan di dalamnya sederhana, membuatku sebagai pembaca cukup mudah membayangkan peristiwa yang sedang digambarkan oleh puisinya. Karena itu, membaca puisi-puisinya (apalagi di buku ini) seakan menjadi penenang atau penjernih dari keriuhan dunia nyata.
Walau aku bukan orang yang menyukai kopi, tapi membaca buku Surat Kopi ini seakan membawaku kepada pengalaman menikmati secangkir kopi. Karena puisi-puisi di dalamnya yang pendek-pendek, aku pun menghabiskan buku ini seperti kebanyakan orang minum kopi: diseruput sedikit demi sedikit dihabiskan perlahan.
Seperti yang kubilang di awal, bagiku sendiri, puisi-puisi di buku ini seakan memberiku efek relaksasi, penjernih pikiran, terutama perihal ketidakpercayadirian. Tema besar dalam buku puisi ini adalah kenangan, sebagian besar puisi-puisi di dalamnya mengandung komposisi kenangan yang cukup mendominasi. Tetapi, aku mencoba meneguk puisi-puisi ini dari sisi cangkir yang lain, sisi cangkir yang ternyata memang lebih kubutuhkan selain tentang berdamai dengan masa lalu: berdamai dengan diriku sendiri.
A. Kesederhanaan yang Tidak Sederhana
MULAI dari sampul, jumlah bait, susunan kalimat, puisi ini disajikan dengan sangat sederhana. Sampulnya sekilas menampilkan tumpahan kopi dari gelas yang terjatuh, namun ketika dilihat lebih lanjut ternyata bukan. Membuatku juga berpikir apa maksud dar gambar ini. Lalu gambar apa itu? Silakan tebak sendiri, hahaha. @sukutangan bagiku berhasil memberikan wajah bagi buku puisi ini. Karena dapat menggambarkan kesederhanaan yang pas dan jokpinbanget ini.
Aku menulis sederhana bukan berarti bisa dengan mudah dipahami dengan sekilas atau sekali baca. Tidak sama sekali. Ke-khas-an dan kesederhanaan puisi Pakde Jokpin bagiku adalah kesederhanaan yang tidak sederhana. Misalnya puisi Mudah (hal. 18) yang hanya berisi satu kalimat. Tetapi dapat membawaku pada sebuah perenungan yang mendalam.
B. Menikmati Pahit Asam Kehidupan
Akhir Bulan
Tiap akhir bulan
ia jatuh miskin.
Di dompetnya cuma tersisa
selembar doa
yang sudah kumal
dan tak cukup
buat membayar sesal.
(Hal. 68)
PUISI ini, seakan-akan mengerti apa yang jadi keresahanku, tentang betapa menakutkannya akhir bulan. Perasaan resah tentang bagaimana cara menabung diiringi juga dengan bagaimana cara menunjang kebutuhan. Ada juga perasaan sesal, tentang kenapa di awal bulan banyak jajan dan beli ini beli itu. Seluruh perasaan itu berkumpul membuatku makin gak percaya diri kalau bisa meraih mimpi dan cita-cita. Persis seperti larik di atas "Di dompet cuma tersisa/selembar doa/yang sudah kumal..." Yang kupunya hanya harapan-harapan semu tentang segala hal, juga kekhawatiran dan penyesalan.
Di puisi ini, aku seperti dibawa berkaca, melihat kepada pantulan wajahku di air kopi, mengantarku pada sebuah kesadaran mau sampai kapan aku terus menabung sesal dan doa yang kumal? Aku dibawa pada perenungan tentang masa depan yang sedikit menyenangkan banyak mengerikan.
Saat merasakan hal-hal itu, tak jarang aku juga berpikir untuk menyerah saja. Ada puisi yang dengan interpretasiku memang menyatakan kemenyerahan itu.
Ajarilah
Ajarilah kami,
para pemimpi yang gigih ini,
untuk berdamai
dengan segala andai.
(Hal. 66)
Di sini seakan aku dibawa untuk melihat dunia lebih realistis. Aku harus memperhatikan apa yang ada di depan mataku terlebih dahulu, jangan menerawang yang jauh-jauh, belum waktuku untuk hal itu. Sebagai pemimpi aku memang harus belajar untuk berdamai baik dengan kekurangan yang kupunya maupun dengan harapan yang sangat ingin kuwujudkan.
Jujur, walau puisi ini menyadarkan atau kasarnya "menyentil"-ku, tapi aku lega, karena setidaknya ada perenungan yang aku dapatkan, ada pelajaran yang kuambil dari racikan kata milik Pakde Jokpin ini. Ternyata, memanglah Pakde Jokpin dan puisi-puisinya bukan hanya menegur, tapi juga memberi semacam saran. Aku mendapat saran itu dari seri puisinya yang berjudul Kesedihan dan Kebahagiaan, 1 - 4, Jangan, 1 - 2.
Kesedihan dan Kebahagiaan, 1
Kebahagiaan saya
terbuat dari kesedihan
yang sudah merdeka.
(Hal. 111)
Jangan, 2
Jangan terburu-buru bersedih.
Baca dulu dengan teliti hatimu.
Sedih yang salah sumber masalah.
(Hal. 117)
Aku setuju, sedih yang salah adalah sumber masalah. Puisi ini mengerti, bahwa kesedihan adalah bagian dari perasaan yang dimiliki manusia, maka haruslah dirasakan dan jangan disangkal. Diditandai oleh larik "Baca dulu dengan teliti hatimu." artinya kita harus terlebih dulu memahami, merasakan kesedihan itu agar tidak terlarut, dalam kesedihan yang malah membawa kita pada sebuah masalah yang lebih besar. Karena pada dasarnya Kebahagiaan terbuat dari kesedihan yang sudah merdeka.
Untuk bagian ini, aku mungkin akan sekali lagi mengutip satu puisi yang bagiku bisa dijadikan jalan atau semacam aforisme untuk diriku saat sedang mengalami kesulitan.
Mudah
Segalanya menjadi mudah
dengan mudah-mudahan.
(Hal. 18)
Dalam puisi ini, aku merasa diajak untuk bersemangat lagi, untuk memandang dunia dengan baik walau tetap realistis dan sederhana. Puisi yang hanya satu kalimat ini mengajakku untuk terus berdoa, berdoa yang baik-baik, tidak usah yang besar-besar. Cukup yang mudah-mudah tidak usah yang wah-wah.
Terkahir tentu saja aku akan mengutip bagian dari puisi yang menjadi judul buku puisi ini. Pamungkas mengenai mengapa kita harus menikmati dan bersyukur atas hidup. Dan gak berhenti di kekurangan itu. Kita harus terus mencari racikan yang pas untuk diri kita. Tidak ada yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan.
…
"Kurang atau lebih,
setiap rezeki perlu dirayakan
dengan secangkir kopi."
Mungkin karena itu
empat cangkir kopi sehari
bisa menjauhkan kepala
dari bunuh diri
…
(Surat Kopi, hal. 157)
Ajakan untuk bersyukur ini sangat kutangkap dan memberi efek puas yang nikmat. Meneguk pahit asam kehidupan, memang seharusnya dinikmati sebagaimana ketika sedang minum kopi. Agar ketika sampai di tetes terakhir hidup yang kita teguk, dapat mengucap: Ah… mantap.
Sebenarnya ada juga puisi lain yang membahas tema-tema ketidakpercayadirian. Misal di seri Kecantikan 1-8 dan Sepatu. Yang aku tangkap membahas tentang perusakan diri ketika kita tidak atau belum bisa menerima kekurangan yang kita punya.
Terakhir, buku ini sangat cocok untuk kalian yang masih lumayan awal membaca puisi atau mencoba mencintai puisi. Juga yang ingin mencoba mencari ketenangan dari puisi. Ah pokoknya mantap! Hahaha.
TERIMA KASIH telah membaca! Semoga ketika kalian berjumpa juga dengan buku puisi ini, kalian bisa juga meneguk menikmati apapun yang kalian punya saat ini dan terus mencari racikan terbaik untuk kalian. ***