oranment
play icon
"Omong Kosong yang Menyenangkan" Memang Menyenangkan
Resensi
karya @imeytw
Kutipan Resensi "Omong Kosong yang Menyenangkan" Memang Menyenangkan
Karya imeytw
Baca selengkapnya di Penakota.id

Ulas Buku Dapat Buku

Judul              : Omong Kosong yang Menyenangkan

Penulis            : Robby Julianda

Tahun terbit    : Januari 2019

 

Cerita ini akan berakhir dalam delapan jam ke depan, 168 kilometer dari sebuah warung pinggir jalan, tempat di mana Sal dan Lani

membeli dua kaleng minuman bersoda sebelum mereka berpisah. ...


Bagaimana kalian membayangkan akan seperti apa Robby Julianda sebagai penulis novela dengan cover didominasi warna biru tua dan menjadikan sebuah kaleng sarden menjadi objek utama, menuturkan kisahnya setelah itu. Saya sudah tertarik dengan novela ini sejak membaca kelimat pertama. Novela ini dibuka dengan sesuatu yang sederhana, jujur, dan asyik. Penulis seolah mengajak pembaca untuk lebih dulu menerima sebuah perpisahan—yang tidak begitu indah, namun mengesankan—sebelum akhirnya mencoba menerka dan memahami sebuah jalan panjang pertemuan seorang Sal dan Lani (sebagai tokoh utama) yang tidak pernah terduga, bahkan oleh tokoh itu sendiri.


Novela ini seakan memberi penegasan pada perspektif kita, bahwasanya hidup memang penuh kejutan; kejutan seperti seekor kelinci atau seekor anak ayam warna-warni yang keluar dari sebuah topi ajaib dan seluruh penonton terperangah bertepuk tangan dibuatnya. Tidak hanya menyuguhkan sebuah pertemuan unik dan tidak terduga Sal dengan Lani, namun, pertemuan dan obrolan singkat dengan Laurell, dua pengemudi mobil, Malano, juga ungkapan-ungkapan temal sal—seseorang yang selalu ingin dipanggil Tom meski nama aslinya Rustam—menjadi sebuah pelengkap yang terasa renyah dan (beberapa) sedikit menyebalkan.


Sesekali juga menampar atau menyentil kita untuk kembali bercermin terhadap realitas kehidupan yang terjadi di masyarakat. Entah tentang bagaimana lidah manusia begitu licin mendogma manusia lainnya, bagaimana hierarki profesi masih menjadi isu besar di benak masyarakat, juga hal yang berkaitan dengan SARA diangkat disini tanpa menimbulkan rasa tersinggung dan tidak ditutup-tutupi, atau hal lainnya yang (katakanlah) bersifat tabu untuk dibicarakan. Ini ialah salah satu dari banyak usaha untuk merealisasikan sebuah pernyataan, bagaimana sebuah karya sastra tercipta seperti air yang membasuh dan meluaskan sudut pandang dalam hidup bermasyarakat yang sering diabaikan, dan melalui karya sastra inilah suara-suara yang sering terbungkam oleh sebuah budaya sosial menggemakan keresahannya.


“Orang-orang marah memang suka membawa agama untuk membenarkan kemarahan mereka,” ucap Sal menanggapi.... (hal. 56)


Tinggal di kampung dan menjadi petani terdengar masuk akal, tapi tidak dengan cemooh tetangga. Buat apa sekolah tinggi-tinggi di

kota kalau pada akhirnya akan mengayunkan cangkul juga? Ia tak menyalahkan pola pikir semacam itu, tapi Sal merasa seseorang

harus bisa mengubah pandangan sekolah-tinggi-harus-bekerja-di-kantor-atau-jadi-pns secara perlahan.... (hal. 69)


Tidak sampai disitu, Robby juga sangat lihai menjadikan dunia musik, film, buku, seorang tokoh dan pengetahuan umum sebagai sarana bercerita yang unik dan apik. Luasnya pengetahunnya di dunia tersebut memudahkannya menggabungkan alur, keadaan atau perasaan si tokoh dengan referensinya tersebut. Kolaborasi antara karya fiksi dengan non fiksi memberikan pendekatan antara pembaca dan apa yang dirasakan tokoh.


“Pernah nonton film Midnight in Paris-nya Woody Alleb, belum?” sambung Sal. Lani menggeleng . Ia bilang, ia Cuma tahu Annie Hall.

“aku paling ingat dengan karakter yang dimainkan Marion Cotillard dalam film itu,” ucap Sal. “Ia seorang wanita yang mencintai masa

lalu dan dengan ceroboh berpikir masa lalu lebih baik dari masa sekarang.” (Hal. 51)


Namun agaknya kekuatan ini dibarengi dengan kelemahan dalam penyajian cerita kepada pembaca. Kekuatan yang timbul atas berbagai referensi dapat dirasakan dengan nyata oleh pembaca yang tahu dan paham dengan khazanah dunia musik, film, buku, dll. Lantas, mari kita menengok sebentar, apakah semua pembaca karya Robby ini memang paham akan dunia semacam itu? Saya rasa pertanyaan ini cukup mampu untuk diragukan. Jangan salah dulu, saya tidak berniat memandang sebelah mata para pembacanya, tetapi kelemahan inilah yang dibawa dalam karya ini melalui celah-celah atas ketidaktahuan pembaca terhadap musik, film, atau mungkin saja buku, dll. Alangkah tidak menyenangkan saat kita belum benar-benar bisa menikmati sebuah karya yang kita baca. Padahal, menurut saya, khazanah itulah yang menjadi salah satu kekuatan karya ini untuk menyampaikan sebuah ikatan emosi tokoh dengan pembaca.


Di dalam buku ini, Robby berusaha menuturkan sebuah kisah yang jujur, polos dan asyik. Justru dalam kesederhanaan itulah kita bisa menemukan kejutan-kejutan kecil yang seringkali tidak kita sadari, bahkan dalam kehidupan nyata sekalipun. Sesuatu yang sederhana itulah malah seakan menjerumuskan pembacanya kedalam sebuah candu. Ia lihai dalam mecampurkan sesuatu yang unik dari sebuah realita hidup sehari-hari tanpa terlalu dilebih-lebihkan.


Ini salah satu buku yang bisa saya habiskan dalam sekali duduk. Tidak hanya asyik untuk dibaca, karya ini juga sarat dengan nilai-nilai filosofis kehidupan tanpa merasa digurui. Dibawakan dengan cara sederhana, namun terasa amat mendalam dan tentu saja—seperti judulnya—menyenangkan. Tetap, saya akan mengulangi duduk itu untuk sekadar membaca buku ini, lagi, lagi, dan lagi.



#BuahTanganPenakota

#UlasBukuDapatBuku

calendar
17 Feb 2021 23:10
view
301
idle liked
4 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig