Dalam sisa hidupnya yang tak melahirkan tawa
ia membunuh bayangnya sendiri
tanpa pernah terbesit melukai cahaya.
Rambutnya yang tergerai dan tak banyak kata
melambai-lambai pada kematian yang
mencuri waktu dan ingatannya. Ingatan itu
hanya mengandung lupa-tak terkecuali
kepada pencurinya sendiri.
Mulutnya melumat lalu menyembunyikan tanya.
Ketidaktahuan ialah cara merawat semoga,
tanpa merampas rinai hujan pada purnama matanya.
Wajahnya menjelma cermin yang tak mengenal
kata "pulang". Namun, rautnya menampar jauh kembali
ke sana, kembali seolah jarum jam berputar ke kiri,
menuai air mata orang tua pada penghujung senja:
menjadi kere bukan semata menghamba pada nasib,
menjadi kere tak lain ialah meniti jalan pulang.
negara tak mampu mengobati pegal linu ibu,
juga tak ada jaminan kewarasan serta kesunyian.
Malam itu, luka menanggalkan baju,
lantas menyetubuhi kesedihan.
"Oh Tuhan, kepada luka kuserahkan tubuhku sepenuhnya.
Tolong, beri aku surga secara cuma-cuma."
(Madiun, 2020)